Di Balik Jilbab Biru

Minggu, 22 Juli 2012 5 komentar

Catatan hari Sabtu, 7 April 2012     


    Hangatnya dekapan selimut masih memeluk enggannya tubuh untuk beranjak bangun. Tak lama, lantunan adzan memecah sunyinya pagi. Pertanda habis sudah waktu tidurku malam itu. Memaksa. Memang memaksa.
Jalan sempit di depan rumah masih basah terguyur hujan semalam. Langit masih berbintang, terbalut sisa-sisa gelapnya malam saat kulangkahkan kaki menuju mushola Al-Fudhola. Memenuhi kewajibanku pada-Nya sebagai seorang muslim.
***
           
            Jam dinding hampir menunjukkan pukul enam pagi. Sarapan yang ibu siapkan telah ku lahap. Pagi itu aku sudah harus pergi lagi ke Bogor. Aku harus menyerahkan berkas pendaftaran beasiswa Program Pembinaan Sumber Daya Manusia Strategis Nurul Fikri yang akan ditutup sore harinya. Jika tak berangkat pagi, maka dapat kupastikan tak dapat tepat waktu. Itu karena Sabtu-Minggu adalah hari diberlakukannya sistem buka tutup jalan di jalur Puncak.
            Seusai berpamitan, rasa berat meninggalkan rumah mengiringi langkah kaki menuju pasar Cipanas, tempat mangkal angkutan khusus Bogor-Cianjur. Barisan L-300 masih berjejer rapi di depan pagar pasar Cipanas yang baru dibangun. Para calo penumpang menarik-narik siapa saja yang mereka kira sudi untuk menumpangi mobil-mobil tua menuju kota hujan.
            Tak seperti biasa. Tak ada orang lain yang duduk didalam mobil selain supir dan kondekturnya, serta sebatang rokok di lengan kanan pak supir yang tinggal setengahnya. Mobil tua berkapasitas lima belas orang yang selalu dipaksa untuk mengangkut dua puluh orang itu kosong. Tak berpenghuni. Aku adalah penumpang pertama dalam mobil itu. Memang tak seperti biasanya.
            Lama menunggu, sopir dan kondektur akhirnya menyerah. Memaksakan berangkat dengan satu orang penumpang. Hanya satu.
            Namun tak lama menanti, seorang ibu berbaju merah mengacungkan tangannya kea arah mobil yang kutumpangi. Ciawi, katanya. Si ibu akan berangkat ke Jakarta, lewat Ciawi. Si ibu duduk di samping jok pak supir.
            Dua penumpang menemani perjalanan si mobil tua yang dikemudikan pak supir berkacamata. Hampir tiga kilometer tanpa tambahan  muatan. Hingga didepan sebuah gerbang, kulihat seorang wanita berjilbab biru ditemani seorang bapak berbaju batik dengan peci putih di kepalanya.
“Assalamu’alaikum, Pak. Saya berangkat dulu.”
Wanita berjilbab biru memasuki L-300 yang penuh debu. Baranagsiang, katanya pada kondektur. Ia duduk di belakang jok pak supir, tepat di depanku. Sempat kulihat wajahnya, namun langsung ku tundukkan pandangan. Tak berani ku tatap sorotan mata wanita yang tak halal ku tatap.
Memangku tas gendongnya yang berwarna hitam, si jilbab biru mengeluarkan sebuah buku. Entah buku apa. Namun sempat kubaca beberapa judul bab yang dibukanya. Buku itu nampaknya khusus bagi para wanita yang ingin menjadi wanita. Wanita dalam pandangan Islam. Tertulis kata jilbab, mengatur emosi, dan kata-kata akhwat dalam beberapa judul bab yang kulihat. Sudahlah, buku iu tak penting untuk dibahas…
Setibanya dijalur Puncak, mobil tua itu telah ditumpangi sekitar sepuluh orang. Angka-angka digital di layar handphone menunjukkan pukul 08.20. Pak supir tiba-tiba membelokkan mobil tua yang kutumpangi ke arah kebun teh.
Kok kesini, Pak”, Tanya si ibu berbaju merah.
“Kita motong jalan, Bu. Biar nggak kena tutup jalur”, jawab Pak Supir. Kondektur meng-ya-kan.
Jalan potong yang diambil pak supir begitu hancur rupanya. Jalan itu ibarat sungai yang kekeringan. Batu-batu yang lumayan besar menyusun parahnya jalan yang harus dilalui.
“Aduh, Pak. Jalannya kok parah banget. Awas nanti kalau masih kena tutup jalur”, kata si ibu.
“Tenang saja, Bu. Kalau lewat kesini nggak akan kena tutup jalur. Kalaupun kena, nggak bakalan lama.”
Sepuluh menit berlalu diatas mobil yang digoyang jalanan berbatu. Si mobil tua yang hampir penuh dengan muatan keluar dari sebuah gang. Tak lama, laju mobil terhenti dibelakang antrian panjang mobil-mobil lain. Sial! Kena buka tutup jalur!
Tak pelak, si ibu berbaju merah langsung memaki si supir. Makiannya ibarat kucuran air yang keluar dari keran. Namun si supir hanya terdiam. Justru si kondektur yang menimpali omelan si ibu berbaju merah.
Tuh, kan. Saya bilang juga apa. Ngapain juga harus lewat jalan yang hancur kalau ujungnya ditutup juga”, kata si ibu.
“Ya, maklum lah, Bu. Namanya juga hari Sabtu”, timpal si kondektur.
Perdebatan mereka terus berlangsung sampai beberapa menit.
Sudah hampir jam sembilan. Si supir dan kondektur akhirnya memutuskan untuk mengalihkan semua penumpang ke mobil lain. Sudah dapat ditebak. Si ibu berbaju merah tambah tak nyaman. Mulai mengalir kembalilah omelan dari mulutnya.
Apa daya, semua penumpang harus dideportasi ke mobil lain. Aku turun dengan kesal, meski tak sekesal si ibu berbaju merah. Namun ada cerita lain. Wanita berjilbab biru turun terakhir. Di wajahnya tak terlihat sedikitpun rasa kesal. Ia tetap setia dengan bukunya.
Aku mempercepat langkah menuju mobil lain yang akan mengangkut. Entah siapa yang memaksaku menoleh ke belakang. Sendi-sendi di leher atasku memutar kepala hampir seratus delapan puluh derajat. Subhanallah, betapa kagetnya saat ku tahu si wanita berjilbab biru berada tepat dibelakangku. Untuk pertama kalinya kulihat wajah si wanita berjilbab biru dengan jelas. Ia tersenyum. Aku tak kuasa memalingkan muka.

Amboi. Indah nian wajahnya
senyunmya laksana ikatan kimia
ikatan antara unsur Calsium Nitrogen Titanium dan Kalium.
Ca N Ti K
Cantik!
           
            Di depan pintu mobil ku menahan langkah. Ku persilakan si jilbab biru masuk terlebih dahulu. Ia tersenyum kembali. Sudahlah, aku tak tahan lagi. Lalu si ibu berbaju merah masuk dengan wajahnya yang kecut. Aku duduk dipinggir pintu. Di sebelahku si ibu berbaju merah, lalu disebelahnya si jilbab biru.
            Masih kubayangkan senyumnya. Fantasiku melayang entah kemana. Membayangkan masa depan bersamanya, hahaha. Maklumlah, anak muda.
            Mengalihkan perhatian, ku mainkan handphone. Entah mengapa, mungkin si jilbab biru menangkap resonansi fantasiku. Ia mengeluarkan handphone-nya. Mengejutkan. Ia memutar sebuah lagu. Lagu yang hampir setiap hari kuputar. Lagu yang tak asing lagi bagiku. Lagu itu seakan menjawab fantasiku. Lagu itu…

            Kalau memang Kau pilihkan aku
            tunggu sampai aku datang
            nanti kubawa Kau pergi ke surga abadi…
            Kini belumlah saatnya, aku membalas cintamu
            nantikanku di batas waktu.

            Nantikanku di batas waktu, sebuah lagu dari edcoustic yang memaksa mataku meliriknya. Ia menolehkan kepalanya ke arahku. Aku langsung tertunduk.
            Lagu itu pun berakhir. Namun tak cukup sampai disitu. Lagu kedua yang diputarnya, masih dari edcoustic.

            Duhai pendampingku, akhlakmu permata bagiku
            buat aku makin cinta
            tetapkan selalu janji awal kita bersatu
            bahagia sampai ke surga

            Duhai pendampingku! Lamunanku kembali meninggi. Hingga ia memutarkan lagu ketiga. Lagu yang semakin membuatku… Aah, entahlah. Entah apa yang kurasakan saat itu.
           
            Aku ingin mencintaimu, setulusnya
            sebenar-benar aku cinta
            dalam doa, dalam ucapan, dalam setiap langkahnku
            Aku ingin mendekatimu, selamanya
            sehina apapun diriku …

            Subhanallah. Aku ingin mencintaimu. Apalagi yang harus kukatakan. Lagu keempat.
           
            Kata-kata cinta terucap indah
            mengalir berdzikir di kidung doaku …

            Ooohh… Empat buah lagu dari edcoustic. Ia mengakhirinya dengan lagu Muhasabah Cinta. Betapa melayangnya aku. Meski ku tahu, mungkin lagu itu bukan untukku. Biarlah…
            Si jilbab biru memasukkan kembali handphone-nya ke dalam tas. Aku masih terdiam. Hingga ku sadar, angka-angka digital telah menunjukkan pukul sebelas tepat. Hampir satu setengah jam aku duduk terpaku di pinggir si ibu berbaju merah. Aku telah dibuai fantasi dan lagu-lagu edcoustic. Ooohh…
            Suara mesin mobil kembali terdengar setelah tertidur selama sempilan puluh menit. Antrean mobil yang tersumbat telah kembali mengalir. Di sisa perjalanan, ku dengar percakapan si jilbab biru dengan si ibu berbaju merah. Baru ku tahu, ternyata si jilbab biru hendak menuju tempat yang sama denganku. Kampus IPB.
***

            Terminal Baranangsiang menjadi tempat perhentian terakhir mobil tua yang kutumpangi. Sebenarnya ingin kutunggu si jilbab biru untuk keluar. Namun waktu perjalanan yang ngaret berjam-jam memaksaku untuk mempercepat langkah. Aku harus mengumpulkan berkas-berkas pendafataran beasiswa yang tak lama lagi ditutup.



Di balik jilbab biru
kau simpan indah parasmu

Di balik jilbab biru
kau sembunyikan cantik senyummu

Di balik jilbab biru
Kau mainkan sebuah lagu: Muhasabah cinta.
Duhai pendampingku, Nantikanku di batas waktu, Aku ingin mencintaimu.

5 komentar:

  • Anonim mengatakan...

    luar biasa, yayat-yayat cinta romantis sekali..
    ternyata yayat udah dewasa, segera menikah ya :)

  • Anonim mengatakan...

    jadi, jilbab biru itu fakultas mana? :P

Posting Komentar

 

©Copyright 2013 | Selengkapnya tentang Yayat | Facebook | Twitter |