Cangkul, sawah, padi, atau orang-orangan sawah, itulah
hal pertama yang aku bayangkan ketika mendengar kata pertanian. Ya, pertanian
memang identik dengan hal-hal tersebut, termasuk lumpur dan pekerjaan yang
keras. Mungkin itulah alasan utamaku menolak ajakan beberapa orang teman untuk
melanjutkan kuliah ke IPB diawal kelas dua belas dulu. Dalam benakku, aku
berpikir jika aku kuliah di Institut Pertanian Bogor maka dapat kutebak apa
pekerjaanku nanti; memakai topi caping, membawa cangkul di tangan kanan,
memakai celana tiga perempat ples
kaos oblong, dan tentu saja menuju ke sawah.
SMAN 1 Sukaresmi, Februari 2011
Februari memasuki sepertiga masanya,
beberapa orang teman di sekolahku sibuk mempersiapkan datangnya hari kasih
sayang, valentine day. Aku beruntung
memiliki keluarga yang melarangku mengikuti trend
budaya barat seperti valentine day, sehingga aku tak perlu
repot-repot mempersiapkan apapun untuk hari itu.
Saat beberapa orang temanku sibuk
dengan valentine day-nya, aku masih
bergelut dengan batinku. Mencari mufakat untuk menentukan sebuah pilihan yang
akan menentukan masa depanku. Aku bingung menentukan pilihan setelah SMA;
bekerjakah, atau kuliahkah. Dan dapat kurasakan saat itu, hati kecilku mengajak
untuk mengambil pilihan kedua. Namun, sekalipun aku memilih untuk kuliah, aku
masih bingung. Jika aku memilih untuk kuliah aku masih harus memilih jurusan
yang bisa mendukung setidaknya satu dari sekian banyak cita-citaku: menjadi
seorang dosen atau guru, pegusaha, trainer, atau paling tidak menjadi seorang
penulis buku.
Saat mufakat itu belum kudapat, aku
bersama beberapa temanku menuju ke ruang BK untuk menanyakan prosedur
pendaftaran SNMPTN undangan yang belum aku mengerti. Setelah selesai dari ruang
BK, aku menuju ke ruang guru. Di ruang guru, aku membicarakan semua
kebingunganku kepada wali kelasku, Bu Nani Sumartini.
Setelah mendengarkan semua keluh
kesahku, diakhir pembicaraan, guru yang akrab disapa Bu Nani ini hanya
melengkungkan bibirnya. Dengan senyumnya yang khas, beliau hanya mengucapkan
sebuah kalimat pertanyaan. Kenapa Kamu tidak mengambil IPB sebagai pilihan? Aku
hanya tersenyum. Menundukkan kepala. Dalam batinku sendiripun aku tak tahu
jawaban dari pertanyaan Bu Nani tadi.
Sebelum aku mengucapkan kalimat jawaban, wali kelasku yang bertubuh tinggi
itu mengatakan sesuatu yang semakin membuatku bingung. Bu Nani menyarankanku
untuk mengambil IPB sebagai pilihan pertama. Aduh. Sungguh. Aku bingung. Aku
hanya menjawab ya, insyaallah, Bu.
Setelah ngobrol-ngobrol tentang dunia
perkuliahan dan tetek-bengek-nya aku bergegas
menuju kelas. Ucapan terima kasih dan salamku kepada Bu Nani mengakhiri
perbincanganku dengan beliau. Aku melangkahkan kaki menuju pintu keluar kantor.
***
Setibanya di rumah, aku merenungi saran Bu Nani tadi. Aku masih ragu dengan
sarannya. Jam di hp-ku menunjukkan pukul tiga pagi. Tak seperti biasanya, aku
sudah bangun sepagi ini. Kakiku turun dari kasur, berjalan tak teratur menuju
kamar air, membawa beban tubuhku yang masih mengantuk, sementara tangan-tanganku
masih sibuk mengucek mata. Entah perintah siapa, tanganku menyentuh air dan
membasuhkannya ke wajahku. Aku mulai sadar. Sudah terlanjur di kamar air,
kulanjutkan dengan berwudhu. Sesampainya di kamar, ingin rasanya tubuh ini
terbaring kembali, menyambung mimpi-mimpi yang tadi entah apa ending-nya. Namum aku berpikir ulang,
kapan lagi aku bangun sepagi ini? Akhirnya aku berubah pikiran. Segera aku
menuju tumpukan buku di meja belajarku. Aku menemukan sebuah buku kecil
karangan M. Imran: Penuntun Shalat Istikhoroh. Awalnya aku ragu. Aku takut
petunjuk yang diberikan-Nya nanti tidak sesuai dengan yang aku harapkan. Namun,
dihalaman awal buku itu tertulis sebuah hadits yang diriwayatkan Thabrani. Tidak akan pernah kecewa orang-orang yang
selalu beristikhoroh. Membaca pernyataan hadits itu, akhirnya kulakukan
istikhoroh. Aku rasa inilah jalan terakhir untuk menjawab semua kebingunganku
selama ini.
Setelah dua hari menunggu, malamnya aku mendapatkan jawaban dari kebingunganku
ini. Dalam mimpiku, aku bertemu seorang pemuda berpakaian serba putih duduk
diatas sebuah batu. Tanpa alasan yang jelas, pemuda itu berkata kepadaku dengan
pasti: Ambillah kimia, IPB! Sekejap,
ia pun pergi. Aku lalu terbangun. Adzan subuh langsung menyapaku segera setelah
aku membuka mata.
Siangnya, aku benar-benar yakin bahwa mimpi itu adalah petunjuk dari-Nya.
Saat melengkapi data SNMPTN undangan, diawali bismillah, dengan mantap kujadikan Institut Pertanian Bogor sebagai
pilihan pertama. Dan tentu saja kimia ada di urutan teratas pilihan jurusan.
Meskipun saat itu aku masih tak tahu mengapa aku memilih IPB, aku yakin
bahwa Allah, Dzat Yang Maha Tahu, telah menyiapkan sebuah rencana besar
untukku. Aku yakin Allah telah menuliskan sebuah skenario luar biasa untuk
kehidupanku kelak. Dan aku sangat yakin, prolog dari skenario luar biasa itu
adalah sebuah kampus rakyat: IPB.
0 komentar:
Posting Komentar