Mengapa IPB

Minggu, 05 Januari 2014 0 komentar
Cangkul, sawah, padi, atau orang-orangan sawah, itulah hal pertama yang aku bayangkan ketika mendengar kata pertanian. Ya, pertanian memang identik dengan hal-hal tersebut, termasuk lumpur dan pekerjaan yang keras. Mungkin itulah alasan utamaku menolak ajakan beberapa orang teman untuk melanjutkan kuliah ke IPB diawal kelas dua belas dulu. Dalam benakku, aku berpikir jika aku kuliah di Institut Pertanian Bogor maka dapat kutebak apa pekerjaanku nanti; memakai topi caping, membawa cangkul di tangan kanan, memakai celana tiga perempat ples kaos oblong, dan tentu saja menuju ke sawah.

SMAN 1 Sukaresmi, Februari 2011
            Februari memasuki sepertiga masanya, beberapa orang teman di sekolahku sibuk mempersiapkan datangnya hari kasih sayang, valentine day. Aku beruntung memiliki keluarga yang melarangku mengikuti trend budaya barat seperti  valentine day, sehingga aku tak perlu repot-repot mempersiapkan apapun untuk hari itu.
            Saat beberapa orang temanku sibuk dengan valentine day-nya, aku masih bergelut dengan batinku. Mencari mufakat untuk menentukan sebuah pilihan yang akan menentukan masa depanku. Aku bingung menentukan pilihan setelah SMA; bekerjakah, atau kuliahkah. Dan dapat kurasakan saat itu, hati kecilku mengajak untuk mengambil pilihan kedua. Namun, sekalipun aku memilih untuk kuliah, aku masih bingung. Jika aku memilih untuk kuliah aku masih harus memilih jurusan yang bisa mendukung setidaknya satu dari sekian banyak cita-citaku: menjadi seorang dosen atau guru, pegusaha, trainer, atau paling tidak menjadi seorang penulis buku.
            Saat mufakat itu belum kudapat, aku bersama beberapa temanku menuju ke ruang BK untuk menanyakan prosedur pendaftaran SNMPTN undangan yang belum aku mengerti. Setelah selesai dari ruang BK, aku menuju ke ruang guru. Di ruang guru, aku membicarakan semua kebingunganku kepada wali kelasku, Bu Nani Sumartini.
            Setelah mendengarkan semua keluh kesahku, diakhir pembicaraan, guru yang akrab disapa Bu Nani ini hanya melengkungkan bibirnya. Dengan senyumnya yang khas, beliau hanya mengucapkan sebuah kalimat pertanyaan. Kenapa Kamu tidak mengambil IPB sebagai pilihan? Aku hanya tersenyum. Menundukkan kepala. Dalam batinku sendiripun aku tak tahu jawaban dari pertanyaan Bu Nani tadi.
Sebelum aku mengucapkan kalimat jawaban, wali kelasku yang bertubuh tinggi itu mengatakan sesuatu yang semakin membuatku bingung. Bu Nani menyarankanku untuk mengambil IPB sebagai pilihan pertama. Aduh. Sungguh. Aku bingung. Aku hanya menjawab ya, insyaallah, Bu. Setelah ngobrol-ngobrol tentang dunia perkuliahan dan tetek-bengek-nya aku bergegas menuju kelas. Ucapan terima kasih dan salamku kepada Bu Nani mengakhiri perbincanganku dengan beliau. Aku melangkahkan kaki menuju pintu keluar kantor.
***

Setibanya di rumah, aku merenungi saran Bu Nani tadi. Aku masih ragu dengan sarannya. Jam di hp-ku menunjukkan pukul tiga pagi. Tak seperti biasanya, aku sudah bangun sepagi ini. Kakiku turun dari kasur, berjalan tak teratur menuju kamar air, membawa beban tubuhku yang masih mengantuk, sementara tangan-tanganku masih sibuk mengucek mata. Entah perintah siapa, tanganku menyentuh air dan membasuhkannya ke wajahku. Aku mulai sadar. Sudah terlanjur di kamar air, kulanjutkan dengan berwudhu. Sesampainya di kamar, ingin rasanya tubuh ini terbaring kembali, menyambung mimpi-mimpi yang tadi entah apa ending-nya. Namum aku berpikir ulang, kapan lagi aku bangun sepagi ini? Akhirnya aku berubah pikiran. Segera aku menuju tumpukan buku di meja belajarku. Aku menemukan sebuah buku kecil karangan M. Imran: Penuntun Shalat Istikhoroh. Awalnya aku ragu. Aku takut petunjuk yang diberikan-Nya nanti tidak sesuai dengan yang aku harapkan. Namun, dihalaman awal buku itu tertulis sebuah hadits yang diriwayatkan Thabrani. Tidak akan pernah kecewa orang-orang yang selalu beristikhoroh. Membaca pernyataan hadits itu, akhirnya kulakukan istikhoroh. Aku rasa inilah jalan terakhir untuk menjawab semua kebingunganku selama ini.
Setelah dua hari menunggu, malamnya aku mendapatkan jawaban dari kebingunganku ini. Dalam mimpiku, aku bertemu seorang pemuda berpakaian serba putih duduk diatas sebuah batu. Tanpa alasan yang jelas, pemuda itu berkata kepadaku dengan pasti: Ambillah kimia, IPB! Sekejap, ia pun pergi. Aku lalu terbangun. Adzan subuh langsung menyapaku segera setelah aku membuka mata.
Siangnya, aku benar-benar yakin bahwa mimpi itu adalah petunjuk dari-Nya. Saat melengkapi data SNMPTN undangan, diawali bismillah, dengan mantap kujadikan Institut Pertanian Bogor sebagai pilihan pertama. Dan tentu saja kimia ada di urutan teratas pilihan jurusan.

Meskipun saat itu aku masih tak tahu mengapa aku memilih IPB, aku yakin bahwa Allah, Dzat Yang Maha Tahu, telah menyiapkan sebuah rencana besar untukku. Aku yakin Allah telah menuliskan sebuah skenario luar biasa untuk kehidupanku kelak. Dan aku sangat yakin, prolog dari skenario luar biasa itu adalah sebuah kampus rakyat: IPB.

0 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2013 | Selengkapnya tentang Yayat | Facebook | Twitter |