Tak
lama, beberapa hari lagi ratusan bahkan jutaan siswa SMA di luar sana akan
menghadapi sebuah pertempuran. Pertempuran besar. Sangat besar. Bagi mereka,
pertempuran ini adalah pertempuran akhir yang sangat genting. Tak heran mungkin
sebagian diantara mereka yang menghalalkan segala cara untuk memenangkannya.
Ya, inilah Ujian Nasional. Begitulah UN, sapaan akrabnya, menjadi ajang
pertempuran hidup dan mati bagi mereka. Termasuk aku, dulu.
Kawan,
dahulu saat aku seperti mereka, kualami sebuah situasi yang begitu menyeramkan.
Tepat dua dan lima tahun lalu. Saat masa belajar di SMA dan di SMP mencapai
hujungnya. Ada sebuah kisah yang tak mungkin ku lupakan. Kisah yang menyertai
berlangsungnya UN kala itu. Sebuah kisah nyata tentang diriku, tentang aku, UN,
dan ujian integritas. Tak banyak orang yang tahu tentang kisah ini. Karena pada
awalnya aku tak mau menceritakan kisah yang memalukan, bahkan bagiku ini sangat
menyeramkan.
Namun
kali ini, aku memberanikan diri untuk bernarasi, memaksa jemari untuk
menari-nari, menuangkan kisah masa lalu dalam tulisan ini. Ya, ini adalah kisah
nyata tentang diriku. Tentang aku, UN, dan ujian integritas.
***
Sabtu, 3 Mei 2008. Hari itu sekolah diliburkan. Tak
lain karena dua hari berikutnya akan dilaksanakan Ujian Nasional tingkat SMP
secara serentak di seluruh penjuru tanah air. Pihak sekolah memberikan
kesempatan hari tenang kepada para siswa untuk mempersiapkan diri.
Jauh-jauh hari sebelumnya, berbagai
macam persiapan telah kulakukan. Tambahan jam belajar dari sekolah, belajar
kelompok, belajar mandiri, sampai mengikuti berbagai macam try out yang ada telah ku
lalui untuk menghadapi UN. Aku yakin, dengan persiapan ini, aku telah siap
untuk menghadapinya, terutama secara mental.
Aku yang sebenarnya sangat malas
belajar di luar jam pelajaran merasa sangat tersiksa dengan keadaan ini. Waktu
bermainku tersita hampir sepenuhnya. Hobi bermain playstation, sepak bola, dan segalanya ku tinggalkan untuk
persiapan ini. Hampir selama satu semester, kujalani masa-masa penuh
keterpaksaan.
Persiapan telah begitu matang.
Keyakinanku semakin tinggi dengan selalu mendapat hasil try out terbaik di beberapa kesempatan yang ku ikuti. Aku yakin.
Dan semakin yakin bahwa aku akan lulus dengan baik.
Beberapa hari berlalu. Dan se;perti
yang ku tahu, UN tak pernah lepas dari segala praktik kecurangan. Termasuk hari
itu. Sekitar sepekan terakhir sebelum ujian, teman-temanku mengatur “strategi”
untuk menghadapi UN. Tujuan mereka satu; LULUS, apapun caranya.
Di SMP, aku memang dikenal sebagai
siswa terbaik di angakatanku. Tak heran, mereka memintaku masuk ke dalam
kelompok mereka, berjuang mencapai kelulusan bersama. “Kan kita masuk bareng-bareng, keluar pun harus bareng-bareng. Masa
Kamu mau lulus sendirian, Yat,” masih ku ingat rayuan itu.
Sontak, aku menolak. Dengan sopan ku
sampaikan bahwa aku tak berminat. “Aku
ingin lulus dengan berkah,” begitu jawabku. Rayuan demi rayuan terus datang
mendekat. Dan aku masih setia dengan jawaban pertamaku.
Tak pelak, hujatan demi hujatan
datang menikam. Sebutan egois, tak mau bekerja sama, tak setia kawan, sampah,
atau apa lah sebutan lainnya, menghujani hari-hariku di sekolah. Dan aku tetap
dengan prinsipku; keberkahan ilmu selama aku belajar di SMP ini salah satunya akan
ditentukan jujur tidaknya dalam UN ini.
Hari
itu pun tiba. Senin, 5 Mei 2008, Ujian pertama adalah Bahasa Indonesia. Dan
tatapan tajam teman-temanku masih setia menemaniku memasuki ruang ujian. Di
beberapa sudut, kulihat beberapa kerumunan saling bertukaran kertas. Dan
pikiranku tak jauh dari kecurigaan; mungkin itu kunci jawaban.
Benar
memang, ku tanya beberapa teman dekatku. “Dapat
dari sekolah lain, lumayan lah…” jawab mereka.
Tiga
hari berlalu. Selepas ujian Matematika di hari ke tiga, keyakinanku mulai
goyah. Soal-soal yang ku dapati selama tiga hari itu jauh dari perkiraan dari
soal try out yang ki ikuti selama
ini. Aku mulai tak yakin.
Hari
terakhir, Ilmu Pengetahuan Alam yang memuat Biologi dan Fisika sebagai bahan
ujian tengah menanti. Aku memang tak yakin, terutama karena biolgi dan fisika
adalah pelajaran yang cukup sulit untuk dicerna otakku. Dan saat itu dengan
sangat menyesal harus melakukan ini. Setengah jam sebelum ujian dimulai, para
siswa masih berkerumun di sekeliling ruang ujian. Aku menghampiri
teman-temanku. “Boleh minta kunci
jawaban?” kata-kata itu begitu berat meluncur dari lidahku. Aku tertunduk.
Aku malu. Aku telah menjual keberkahan ilmu yang aku pelajari selama tiga tahun
dengan kata-kata itu.
Aku
masih tertunduk. “Eh, ngapain minta.
Katanya gak mau.. Udah belajar aja sana sendiri…,” ucap salah seorang
temanku. Mereka berlalu. Dan aku masih tertunduk. Ya sudahlah, kalau memang
harus nilai UN IPA ini hancur, maka aku memilihnya hancur dengan disertai
kejujuran. Bukan hancur dengan kecurangan yang menyertainya.
Hatta
tibalah pengumuman kelulusan. Dan aku ragu dengan hasilku. Aku tak percaya, dan
mungkin Kau pun tak kan percaya. Di hari itu langit cerah, bunga-bunga di taman
sekolah nampak terlihat merekah. Senyumku meluncur haru saat aku dinobatkan
sebagai lulusan terbaik dengan nilai UN tertinggi. Tak percaya. Sungguh aku tak
percaya.
Aku
bangga. Aku menunjukkan kepada mereka bahwa aku bisa. Dan saat itu aku merasa
inilah keberkahan yang Allah berikan.
Sayangnya
di satu sisi aku pun kecewa. Aku merasa hina. Ya, saat hari terakhir ujian
itulah yang membuatku merasa sangat hina. Saat aku menjual keyakinanku dengan
meminta kunci jawaban. Dan kata-kata itu adalah kata-kata yang paling aku
sesali selama tiga tahun menuntut ilmu disana. Untunglah, Allah masih
melindungiku, melindungi tekadku untuk berbuat jujur.
***
Tiga
tahun berlalu. Dengan nilai UN yang cukup tinggi ketika SMP, kini aku masuk ke
dalam kelas unggulan di salah satu SMA favorit di daerahku. Dan kini, akan ku
hadapi lagi masa-masa yang penuh keterpaksaan; masa-masa persiapan UN.
Seperti
biasa di SMA ku, pekan terakhir sebelum UN, selalu ada istighosah. Seluruh
sivitas sekolah berkumpul di lapangan utama untuk berdoa bersama. Siswa kelas
sepuluh, sebelas, dua belas, seluruh guru dan staff tata laksana, semuanya
berkumpul dalam satu suasana. Suasana penuh harap pada Sang Maha Pemberi Ujian.
Hari
itu, Kamis, 14 April 2011. Tepat pukul sepuluh pagi, suasana penuh isak tangis.
Para guru ber-musafahah bersama
seluruh siswa kelas dua belas. Satu-persatu guru menyalami, memeluk, dan
mendoakan semua siswa kelas dua belas yang akan melaksanakan UN. Haru. Begitu
haru.
Suasana
di lapangan masih ramai. Guru-guru telah masuk kembali ke ruangan mereka
masing-masing. Dan kami, 350 siswa kelas dua belas masih berada dilapangan,
saling berjabat tangan, saling mengeratkan pelukan, dan saling mendoakan. Dan
aku berkumpul bersama teman-teman seperjuanganku di Rohis, saling bercanda, dan
seskali mengulas kenangan indah selama menjadi aktivis masjid.
Keharuan
itu pun terpecah. Seorang siswa kelas dua belas yang sangat ku kenal dengan
baik saat itu naik ke atas podium lapangan. Bergegas ia mengambil alih pengeras
suara. “Pengumuman,” katanya, “kepada seluruh KM (ketua murid, ketua
kelas) dan ketua MPK (majelis permusyawaratan kelas) setelah ini berkumpul di
ruangan … Ada yang perlu dibicarakan terkait UN nanti.”
Pengumuman
itu memang membuat semua siswa kelas dua belas penasaran, termasuk aku. Tentu
saja ini menyangkut UN yang akan kami hadapi.
Satu
jam berlalu. Aku bertanya kepada beberapa orang yang masuk ke dalam ruangan itu
tentang apa yang mereka bicarakan. “Ada
pengumuman tambahan?Atau ada informasi yang penting??” tanyaku dengan
penasaran.
Mengejutkan.
Dan sangat mengerikan. Sungguh tak kusangka jawaban yang meluncur dari mulut
mereka. “… kita masuk ke sini
bareng-bareng, ya kaluar pun harus bareng-bareng. Kita harus lulus semuanya…”
Kata-kata itu, sungguh sangat mengingatkanku pada peristiwa tiga tahun
sebelumnya. Tak menyangka. Sungguh tak menyangka. Di dalam sana rupanya mereka
juga mengatur strategi.
Dalam
hati aku berteriak. Goblok. Manusia
goblok macam apa mereka. Belum dua puluh empat jam mereka berkumpul, menangis
bersama, mengemis kasih dan memanjatkan doa kepada Allah agar bisa lulus ujian.
Sekarang mereka berkumpul untuk menentukan strategi agar mereka lulus. Lulus
apapun caranya. Tolol. Sungguh tolol mereka. Pengkhianatan macam apa ini.
Seberani itukah mereka mengkhianati doa-doa mereka yang baru saja dipanjatkan
bersama. Aku sungguh tak habis pikir.
Bergegas
aku pulang ke rumah. Sepanjang perajalanan, hatiku terus mengerutu, mengutuki
mereka yang, ah, entah apa lah namanya. Sungguh benci. Benci aku mengingat itu.
Persiapan
UN SMA ini memang sangat berbeda dengan persiapan UN SMP dulu. Berbagai hasil try out yang aku ikuti menunjukkan hasil
yang tak baik. Dan seperti biasa, fisika dan biologi selalu menjadi hantu
bagiku. Nilai 6,oo adalah nilai maksimal yang aku dapat dari beberapa kali try out. Deretan angka 5, 4, atau bahkan
3 menghiasi hasil try out-ku untuk
kedua pelajaran ini. Entahlah, dosa apa yang membuat otakku sulit mencerna
kedua pelajaran ini.
Hasil-hasil
try out ini membuatku bimbang. Dan
terkadang aku merasa goyah. Aku merasa ragu. Aku merasa tak yakin denga
persiapanku. Terkadang, aku berpikir aku harus mengorbankan keteguhan dan
kejujuran untuk mencapai predikat kelulusan. Sungguh aku bimbang.
Di
tengah kebimbangan inilah, tepat dua hari sebelum UN dimulai, sahabatku,
sahabat terbaikku, sahabat seperjuanganku saat di rohis dulu datang bertamu.
Entah apa yang membawanya ke rumahku. “Ah
nggak, aku hanya ingin main aja ke rumahmu, Yat. Melepas stress sebelum ujian.”
Katanya dengan tersenyum.
Di
kamar, kami berdua saling bertukar cerita tentang masa-masa indah di Rohis.
Masa-masa tak terlupakan yang begitu menakjubkan. Dari yang menggembirakan
sampai mengharukan. Semuanya. Benar-benar melepas stress sebelum UN.
Di
akhir pembicaraan aku bertanya padanya tentang kebimbangan ini. Apakah aku harus bertahan dengan idealisme,
atau harus melakukan kepicikan untuk mendapatkan kelulusan. “Mau pilih yang mana?” ia tersenyum,
matanya menatap dalam.
Sederhana
ia menjawab. Diceritakannya kisah Bilal bin Rabbah yang mengorbankan raganya
dipanggang panasnya gurun Arab demi agamanya. Diceritakannya pula kisah Mush’ab
bin Umair yang rela meninggalkan kegemerlapan dunia dan intervensi orang tuanya
demi Agama. “Jika Kau meninggalkan
kejujuran demi kelulusan ini, sama saja dengan mengorbankan nilai-nilai yang
diajarkan agama. Bandingkan dengan Bilal dan Mush’ab yang pengorbanannya adalah
raga dan keluarganya. Jauh, sungguh jauh dengan UN yang hanya hal sepele ini.
Relakah dengan UN ini kita menjual kejujuran yang dijunjung tinggi agama ini.”
begitu jawabanya. Meyakinkan. Sungguh jawaban yang paling ku nanti atas
kebimbangan ini. Meneguhkan. Sungguh meneguhkan.
Minggu
malam, dua belas jam sebelum UN dimulai, aku baru saja pulang dari berjamaah
isya di masjid. Metro TV saat itu menayangkan Mario Teguh Golden Way, sebuah acara berisi nasihat-nasihat bijak
dari Mario Teguh. Tema yang diangkat malam itu adalah tentang menghadapi Ujian.
Tentu saja tema itu dipilih karena memang Senin esok UN SMA akan dimulai.
Masih
ku ingat kekata Mario Teguh tentang integritas dalam menghadapi ujian, “Orang-orang
yang berpegang teguh kepada kebenaran, dengan kata lain berintegritas tinggi,
seseungguhnya dia telah lulus, bahkan sebelum ujian itu datang. Itu!” Kekata
itu ia sampaikan dengan gaya telunjuknya yang khas. Satu kalimat lagi sebelum
acara itu berkahir, kalimat yang semakin meneguhkan keyakinanku pada
pertolongan Allah. “Tuhan sudah sangat terkenal banyak menolong orang-orang yang terdesak,”
tutupnya.
Senin
pagi tiba. Aku mencium tangan kedua orangtuaku dengan penuh harapan dan doa
dari mereka. “Semoga Allah menunjukkan
kepadamu bahwa yang benar itu benar, dan yang salah itu salah…” Itulah
kalimat yang ibu ucapkan saat ku cium tangannya.
Tepat
pukul tujuh aku tiba di sekolah. Yakin. Sangat yakin, aku menebarkan senyum
keyakinan, kepada siapapun, bahkan kepada orang yang tak aku kenal. Setngah
delapan, seorang guru memerintahkan seluruh pesrta UN berkumpul di lapangan.
Beliau memimpin doa. Sebelum ditutup, beliau berorasi. Di akhir orasinya,
dengan lantang beliau berkata “ . . .
Kalian pasti bisa melewati UN ini dengan kejujuran. Kalian Bisa! Bisa! Pasti
Bisa! Allohu Akbar! Allohu Akbar! Allohu Akbar!” Tiga kali kalimat
takbirnya itu diikuti oleh seluruh peserta UN. Dan aku, sungguh,
kalimat-kalimat takbir yang dengan lantang ku teriakkan itu, sungguh telah
menguapkan segala keraguanku. Menguap. Tak ada lagi yang tersisa.
Sama
seperti tiga tahun sebelumnya. Masih ku lihat kerumunan orang salin bertukat
kunci jawaban. Entahlah, entah dari mana mereka memperolehnya. Dan entah apa
yang ada dalam pikiran mereka. Belum kering mulut mereka meneriakkan takbir di
tengah lapangan. Dan aku hanya tersenyum, tekadku telah bulat. Tak mungkin ku khianati
doa-doaku, doa ibuku pagi itu, dan doa-doa bersama yang dipanjatkan saat
istighosah beberapa hari sebelumnya.
Hari
itu dua mata pelajaran diujikan. Bahasa Indonesia dilalui dengan cukup mudah.
Sisanya: Biologi. Makhluk ini lagi. Semalaman ku pelajari ratusan soal biologi.
Aku tak ingin tersangkut di mata pelajaran ini.
Ujian
biologi dimulai tepat pukul sebelas. Empat puluh buah soal dengan durasi dua
jam. Saat itu adzan dzuhur berkumandang tepat pukul dua belas. Artinya waktu
yang tersisa tinggal satu jam lagi. Ku lihat kembali lembar jawabanku.
Menyedihkan. Aku baru membaca sepuluh soal, dan hanya bisa menjawab lima soal. Saat
adzan berkumandang itu ku tutup dulu lembar soalnya. Sesunggunnya saat itu air
mataku mulai menetes karena merasa tak sanggup lagi. Aku menyerah dengan
soal-soal biologi. Namun teman-teman di ruangan ujian saat itu tak ada yang
peduli, mereka sibuk dengan lembar soal mereka sendiri.
Ku
hayati setiap kalimat adzan yang dikumandangkan. Aku teringat kembali kekata
Mario teguh semalam, “Tuhan sudah sangat
terkenal banyak menolong orang-orang yang terdesak.” Adzan pun selesai.
Sebelum ku buka kembali lembar soal, ku panjatkan doa yang tadi pagi ibu
panjatkan. “Semoga Allah menunjukkan
bahwa yang benar itu benar.”
Dan
kujawab soal-soal biologi itu seadanya, seingat apa yang aku ingat, meskipun
saat itu banyak sekali yang tidak aku ingat. Suara bel tepat pukul satu
memaksaku mennyudahi derita kala itu. Derita bersama soal-soal biologi.
Menyedihkan
memang. Menyedihkan saat aku harus menjawab soal-soal biologi dengan penuh
spekulasi. Tapi tak apalah, setidaknya aku tidak lebih menyedihkan dari mereka yang
mengorbankan harga dirinya demi secari kertas kunci jawaban.
Di
hari kedua, matematika ku lalui dengan penuh perjuangan. Meskipun tak mudah,
setidaknya matematika tidak lebih membunuh daripada biologi. Tepat pukul
sebelas siang, aku sudah sampai di rumah. Dua malam bergadang bersama soal-soal
biologi dan matematika membuat kondisi fisikku turun drastis. Aku memang tak
terbiasa bergadang, apalagi untuk mengerjakan soal-soal biologi.
Hari
itu aku benar-benar lelah, tubuhku memanas, bintang-bintang berthawaf di
sekitar kepalaku, dan hidung ini tak henti-hentinya mengeluarkan cairan.
Komplikasi demam, pusing, dan flu saat itu memaksaku untuk membuat keputusan
yang berat. Aku memutuskan esok hari tak ikut ujian, dan memilih ujian susulan
satu pekan setelahnya. Padahal di hari itu adalah pelajaran yang paling aku
unggulkan; kimia dan bahasa inggris. Namun aku tak dapat memaksakan diri. Aku
menyerah.
Tepat
pukul lima sore, saat itu aku hampir menulis surat permohonan tidak masuk ujian
karena sakit. Dering telepon genggam menunda rencanaku. Dan mengejutkan, guru
SMP ku dulu, yang juga mengajar pelajaran kimia di SMA lain meneleponku. Aku
memang sangat akrab dengan guru yang satu ini. Tak jarang aku sering menemuinya
hanya untuk bertanya-tanya tentang kimia.
Sore
itu beliau meneleponku, “Kamu ujian paket
berapa, Yat?” tanyanya cepat. Aku merasa aneh. Mengapa beliau menanyakan
paket ujianku. Bahkan setelah kujawab, beliau langsung memintaku untuk bertemu
di kantornya di SMP-ku dulu. Lokasinya memang tak jauh. Bergegas aku pergi ke
sana. Aku masih berjalan dengan perasaan yang tak karuan. Penuh tanda tanya, dengan
pusing kepala menyertainya.
Sekolah
saat itu sangat sepi. Maklumlah, waktu itu sudah menjelang maghrigh.
Tepat
saat ku buka pintu kantornya, beliau sedang menonton televisi dengan sebatang
rokok di lengan kanannya. “Eh, kesini,
Yat,” ajaknya sambil mengambil sesuatu di dalam tasnya.
Aku
terkejut. Sangat terkejut. Sungguh sangat terkejut saat kulihat apa yang beliau
keluarkan dari dalam tasnya.
“Ini soal Ujian Kimia paket 39 buat
besok. Sebelum maghribh kamu baca-baca dulu saja. Biar besok kamu ada gambaran
buat dikerjain. Habis maghribh saya mau keluar lagi.”
Sungguh,
sungguh aku tak menyangka. Bagiku inilah ujian sebenarnya. Ujian integritas. Sebuah
situasi yang sulit, sangat sulit, harus ku hadapi saat itu juga. Sebelumnya aku
memutuskan untuk izin tidak mengikuti ujian esok pagi, dan kini soal ujian esok
pagi ada di hadapan ke dua mataku.
Tanganku
terangkat, bibirku tersenyum. “Engga. Saya
mau jujur saja,” jawabku dengan sopan dan sedikit tersenyum. Beliau menatapku.
“Serius Kamu mau jujur?” tanyanya
dengan sedikit senyum.
“Ia,” jawabku sekali lagi.
Entah
siapa yang menuntun lidahku mengatakan itu. Yang jelas, tepat sebelum aku
mengeluarkan kata-kata penolakan itu, hati kecilku sempat bergumam “Ya Allah, dua hari ini aku telah menjalani
ujian dengan kejujuran. Dan sekarang kesempatan untuk mengotori kejujuran itu
hadir di depanku. Lindungi aku dan kejujuran ini.” Ya, aku sempat berpikir,
akan sangat disayangkan jika aku harus mengambil lembar soal itu, membacanya,
dan kemudian aku akan mengetahui seluruh soal yang akan diujikan besok. Aku berpikir,
jika aku melakukan ini, sia-sialah usaha ku dua hari terakhir. Sia-sia lah
demam, flu, dan pusing yang hinggap di tubuhku karena bergadang dua malam. Dan sia-sia
pula air mataku yang menetes saat ujian biologi kemarin. Sungguh, aku telah
memulai semua ini dengan tekad kejujuran. Aku harus mengakhiri semua ini dengan
kejujuran pula.
“Ya sudah kalau nggak mau,” kata beliau sambil memasukkan lembar soal itu ke
dalam tasnya.
Namun
ternyata, godaan tak sampai disitu. Beliau merogoh saku baju safarinya. Secarik
kertas putih beliau sodorkan padaku.
“Ini,” katanya,”Kalau
nggak mau baca soalnya saya sudah kerjakan. Ini jawabannnya. Kamu lihat saja. Kalau
perlu disalin.”
Sekali
lagi aku tersenyum. “Nggak usah. Saya mau
jujur,” ucapku sekali lagi.
Berkali
beliau merayuku. Berkali pula aku menolaknya dengan jawaban yang sama. Beliau akhirnya
menyerah. “Ya sudah kalau begitu,”
kata beliau dengan sedikit tersenyum, “Saya
hanya mau bilang terima kasih kalau Kamu mau jujur. Semoga kamu bisa lulus ya,
Yat. Semoga lulus dengan jujur.”
Aku
keluar dari kantornya, bergegas menuju ke rumah. Sepanjang perjalanan aku
tersenyum. Aku meras puas. Sungguh amat puas. Hari itu, waktu itu juga, aku
membuktikan kekata Mario Teguh. Aku berpegang teguh pada kebenaran, aku lulus
sebelum ujian esok hari datang. Dan bagiku, inilah ujian sebenarnya, inilah
predikat “lulus” sebenarnya.
Dan
hari itu aku merasa benar-benar bahagia. Aku berbahagia karena berhasil menjaga
doa-doaku, terutama doa ibuku. Menjaga doa-doa itu dari pengkhianatan paling
munafik yang hampir saja ku lakukan. “Terima
kasih Ya Allah. Terima kasih atas perlindunganmu,” gumamku dalam hati.
Selepas
isya, aku meminum obat flu yang dibelikan ibu dari warung. Sekali lagi, ibu
memberiku janji bahwa aku akan sembuh, dan aku kan bisa berjuang esok. Sungguh,
janji itulah yang membuatku benar-benar percaya bahwa aku akan sembuh, bukan
obatnya.
Pagi
itu pun tiba. Flu dan demam sudah berkurang memang, tetapi rasa pusing belum juga
hilang. Akhirnya ku minum juga obat sakit kepala yang dibelikan ibu. Dan aku
membatalkan rencanaku kemarin hari. Aku akan tetap ujian hari itu. Apapun yang
terjadi. Aku yakin Allah akan menolong orang-orang terdesak.
Hari
itu dua mata pelajaran diujikan, Bahasa Inggris dan Kimia. Keduanya memang
merupakan pelajarn favoritku di kelas. Aku tak terlalu banyak mengulas kedua
pelajaran ini karena merasa sudah sangat yakin.
Sesi
pertama Bahasa Inggris adalah ujian listening. Seusai sesi itu, aku tak tahan
lagi menahan sakit kepala. Aku meminta izin kepada pengawas ujian untuk ke toilet.
Aku memang pergi ke toilet, namun setelah itu aku berdiam diri di teras masjid.
Hampir sepuluh menit aku terdiam.
Dan
aku kembali ke dalam ruang ujian setelah sakit kepalaku sedikit berkurang. Aku menyelesaikan
soal-soal Bahasa Inggris dengan rasa pusing di kepala. Untunglah, rasa pusing
itu tak terlalu mengganggu. Begitupun dengan kimia. Aku merasa beruntung begitu
mencintai kimia. Rasa pusing itu sama sekali tak mempengaruhiku melahap
soal-soal kimia.
Ujian
tinggal menyisakan Fisika esok hari. Sama seperti biologi, pelajaran yang satu
ini cukup sulit untuk ku cerna. Beruntung, seminggu sebelum ujian aku meminjam
buku kumpulan rumus-rumus fisika. Di buku itu hanya ditulis ringkasan rumus
dengan contoh soalnya. Ku pelajari materi sesuai daftar standar kompetensi lulusan.
Aku mempalajari semua soal hitungan. Soal-soal teori ku tinggalakan karena
begitu abstrak bagiku.
Kamis,
21 April 2011, adalah hari terakhir ujian. Lembar soal Fisika sebagai menu
utama sudah hadir di depan mataku. Ku baca satu persatu semua soalnya. Ternyata
komposisi yang ada adalah 60% soal hitungan dan 40% soal teori. Aku sungguh
terkejut, terkejut dan tak menyangka. Enam puluh persen soal hitungan itu
nampaknya sangat familiar. Ya, seratus persen soal-soal hitungan itu sama
persis dengan apa yang kupelajari semalam di buku kumpulan rumus. Persis. Sama persis.
Bahkan sampai titik – komanya. Yang berbeda hanya satu, hanya angka-angkanya
saja yang diganti.
Jelas
sudah, seluruh soal hitungan itu ku kerjakan tanpa hambatan. Dan sejak saat itu
aku semakin percaya bahwa Allah benar-benar banyak menolong orang yang
terdesak. Dan untuk soal teori, aku memang sudah menyerah. Sisa waktu yang ada
hanya ku gunakan untuk menerka-nerka jawaban. Sudahlah, aku sudah merasa yakin
dengan enam puluh persen nilai soal hitungan.
Masa-masa
ujian itu akhirnya benar-benar berakhir. Berakhir bersama segala ujian yang
menyertainya. Aku merasa lega, puas, dan sangat bangga. Terlebih karena aku
telah melalui ujian yang ku sebut ujian yang sebenarnya. Sungguh, bagiku itulah
predikat lulus yang sebenarnya.
Hari-hari
berganti. Waktu-waktu berlalu. Berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Hingga
sampailah pada hari penentuan. Hari itu, hari pengumuman kelulusan.
Seluruh
orang tua diundang ke sekolah untuk menerima surat kelulusan. Suasana begitu
ramai. Menegangkan. Mendebarkan. Mengharukan.
Seluruh
penjuru sekolah bersorak ketika Kepala Sekolah mengumumkan bahwa SMA kami saat
itu lulus 100%. Semuanya lulus.
Dan
diantara hiruk pikuk kegembiraan seantero sekolah, aku merasa menjadi orang paling
bahagia disana. Kulihat ibuku tersenyum bahagia. Dan aku lebih bahagia. Bahagia
karena dapat menjaga kepercayaanmnya, menjaga doa-doanya yang keramat. Menjaganya
dari sebuah pengkhianatan dan kecurangan. Sungguh aku merasa bahagia. Sangat bahagia,
meski aku harus menerima kenyataan deretan angka enam harus menghiasi ijazah
ku. Biologi, Fisika, dan Matematika. Angka enam adalah sebuah angka yang memang
pantas untukku. Atau mungkin ini bonus, karena bagiku nilai itu masih terlalu
besar untuk kemampuanku mencerna mereka. Ini sungguh anugrah bagiku. Anugrah terindah
dari Yang Maha Indah.
Dan
anugrah terindah dari ujian ini adalah, saat aku mampu menjaga kepercayaan
orang tuaku, menjaga doa-doanya dari pengkhianatan. Dan anugrah terindah
lainnya adalah saat aku lulus dari ujian sebenarnya, ujian integritas.
3 komentar:
candu. lapar. buah yang didapat dari kerja keras dan kejujuran.. buah yang didapat langsung dr Allah. memang buah ini yang paling nikmat dan bikin candu.
Subhanallah,,
cerita kamu sangat menginspirasi yat,, betapa penting nilai kejujuran itu dalam diri seorang muslim..
semoga nilai itu tetap terjaga dalam diri kamu dan kita semua,,
terima kasih atas ceritanya yg sangat memotivasi..
Bagus.sekali kisah ini, akan selalu ku ingat.dalam hidupku,terima kasih yat
Posting Komentar