Tak Sekedar Jilbab Hati*

Selasa, 12 Februari 2013 0 komentar
            Alkisah, hiduplah seorang wanita yang dikenal sebagai seorang muslimah yang taat beribadah. Tak jarang, banyak pula amalan sunnah yang sering ia kerjakan. Namun ada satu hal yang menjadi kekurangan dan membuat ke-muslimah-annya menjadi tidak sempurna. Kekurangan itu ialah keengganannya menggunakan hijab –jilbab. Ya, ia tak mau menutup auratnya secara sempuna. Rambutnya yang hitam ia biarkan tergerai panjang tanpa jilbab.
            Acapkali ia ditanya oleh beberapa orang sahabatnya tentang keengganannya memakai jilbab. Ia hanya tersenyum, seraya menjawab “InsyaAllah. Bagi saya yang terpenting hati dulu yang berjilbab. Baru  nanti rambut saya yang akan saya tutup.”
            Sudah banyak memang yang menanyakan sekaligus menasihatinya. Namun ia tak bergeming dan tetap memberikan jawaban serupa apabila ia ditanya.
            Hatta tibalah suatu malam. Dalam bunga tidurnya, ia memimpikan dirinya tengah berada di suatu taman yang begitu indah. Rumputnya begitu hijau, pohon-pohon rindang dengan buahnya yang ranum tumbuh di sekitar taman. Dilihatnya pula telaga-telaga dengan airnya yang jernih, mengalir dengan indah disertai suara gemericiknya yang menghanyutkan. Semilir angin menyapa kulitnya, menembus pori-pori hingga masuk ke tulang-tulangnya. Tak pernah rasanya ia temukan tempat seindah ini sebelumnnya.
            Di pinggir-pinggir telaga, ia melihat beberapa orang wanita yang sedang menikmati keindahan taman. Ia bergegas menghampiri salah seorang wanita yang tengah berkumpul itu.
            “Assalamu’alaikum,” disapanya salah seorang wanita yang tengah menikmati segarnya air telaga.
            “Wa’alaikummussalam. Selamat datang saudariku,” jawab sang wanita. Wajahnya begitu bersih, bersinar bercahayakan iman.
            “Terima kasih. Apakah ini surga? Aku tak pernah melihat tempat seindah ini sebelumnya.”
            Sang wanita yang ditanya meluncurkan senyumnya yang begitu indah, “Bukan, Saudariku. Ini bukan surga. Ini hanya tempat tunggu bagi para wanita yang akan masuk ke dalam surga. Adapun surga, ia ada di balik pintu itu,” tangannya menunjuk ke arah sebuah pintu besar yang begitu indah dan penuh cahaya.
            Ia tertegun, “Benarkah? Sungguh tak terbayang indahnya surga, jika tempat tunggunya saja seperti ini.”
            Satu dari beberapa orang wanita yang lain lalu bertanya kepadanya, “Amalan apa yang membawamu kesini, Saudariku?”
            “Ehm, aku senantiasa menjaga waktu shalatku, dan aku menambahnkannya dengan ibadah sunnah,” jawabnya.
            Jauh di ujung taman, pintu itu mulai dibuka, semebak harum bebabuan dari dalam surga segara menyergap indra penciumannya. Satu persatu wanita lain mulai memasukinya. Wanita yang disapanya tadi sontak berkata, “Ayo ikuti mereka,” kata wanitu itu setengah berlari.
            “Surga kah dibalik pintu itu?” tanyanya sambil mengejar sang wanita.
            “Tentu, Saudariku.” Larinya semakin cepat.
            “Tunggu. Tunggu aku…” Ia tertinggal oleh sang wanita yang indah rupanya itu.
            Ia berlari secepat yang ia bisa. Namun ia masih tertinggal. Tak mampu ia mengejar sang wanita yang hanya setengah berlari. Terengah-engah, ia berteriak kepada sang wanita.
            “Amalan apa yang telah Kau lakukan sehingga membuatmu begitu ringan?”
            “Sama sepertimu, Saudariku,” jawab sang wanita sambil tersenyum.
            Ia kehabisan nafas, tak sanggup lagi ia mengejar sang wanita. Tak lama, pintu surga itu ia capai, setengah kakinya telah melangkah melewati pintu. Namun, saat ia hendak melangkahkan kaki keduanya untuk masuk ke dalam melewati pintu itu, ia merasa ada yang menahan dirinya. Tak dapat ia masuk melewati pintu itu. Dicobanya berkali-kali. Tetap tak bisa.
            Hatta dengan berputus asa, ia bertanya kepada sang wanita yang telah berada di balik pintu, “Amalan apa yang kau lakukan dan aku tidak melakukannya?”
            Dari balik pintu, sang wanita menjawab dengan senyumnya, “Saudariku, apakah Kau tidak memperhatikan apa yang membedakan dirimu dan diriku?”
            Ia tak punya lagi kekata untuk menjawab pertanyaan sang wanita.
            “Saudariku, apakah Kau mengira bahwa Rabb-mu akan mengizinkanmu ke surga-Nya, sementara Engkau tak menghijabi auratmu dengan sempurna?” Wanita itu memunculkakan kepalanya keluar pintu, tersenyum, lalu berkata, “Saudariku, sungguh sangat disayangkan amalanmu tak mampu membuatmu mengikutiku memasuki surga ini. Maka cukuplah surga hanya sampai kaki dan hatimu, karena memang niatmu adalah menghijabi hati.”

            Ia tertegun. Tak lama ia terperanjat bangun dari tidurnya. Lelehan air mata menganak sungai di pipinya. Ia mengambil wudhu lalu meneruskan qiyamul lail. Lantunan istighfar dan air mata menemani sunyinya malam itu. Ia menyesali perkataanya dulu, dan sejak saat itu ia menguatkan azzam-nya untuk berjilbab.



*Cerita ini saya baca di Mading Al-Huriiyyah IPB di awal tahun 2012 dulu, sumbernya dari internet, tapi saya lupa apa web sumbernya, heheh. Jadinya cerita ini saya tulis kembali dengan bahasa saya sendiri. J
Semoga menginspirasi.
~Hijab itu melindungi, bukan membatasi.

0 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2013 | Selengkapnya tentang Yayat | Facebook | Twitter |