Catatan
hari Sabtu, 7 April 2012
Hangatnya dekapan selimut masih memeluk enggannya tubuh untuk beranjak bangun. Tak lama, lantunan adzan memecah sunyinya pagi. Pertanda habis sudah waktu tidurku malam itu. Memaksa. Memang memaksa.
Jalan
sempit di depan rumah masih basah terguyur hujan semalam. Langit masih berbintang,
terbalut sisa-sisa gelapnya malam saat kulangkahkan kaki menuju mushola
Al-Fudhola. Memenuhi kewajibanku pada-Nya sebagai seorang muslim.
***
Jam dinding hampir menunjukkan pukul
enam pagi. Sarapan yang ibu siapkan telah ku lahap. Pagi itu aku sudah harus
pergi lagi ke Bogor. Aku harus menyerahkan berkas pendaftaran beasiswa Program
Pembinaan Sumber Daya Manusia Strategis Nurul Fikri yang akan ditutup sore
harinya. Jika tak berangkat pagi, maka dapat kupastikan tak dapat tepat waktu. Itu
karena Sabtu-Minggu adalah hari diberlakukannya sistem buka tutup jalan di
jalur Puncak.
Seusai berpamitan, rasa berat
meninggalkan rumah mengiringi langkah kaki menuju pasar Cipanas, tempat mangkal
angkutan khusus Bogor-Cianjur. Barisan L-300 masih berjejer rapi di depan pagar
pasar Cipanas yang baru dibangun. Para calo penumpang menarik-narik siapa saja
yang mereka kira sudi untuk menumpangi mobil-mobil tua menuju kota hujan.
Tak seperti biasa. Tak ada orang
lain yang duduk didalam mobil selain supir dan kondekturnya, serta sebatang
rokok di lengan kanan pak supir yang tinggal setengahnya. Mobil tua
berkapasitas lima belas orang yang selalu dipaksa untuk mengangkut dua puluh
orang itu kosong. Tak berpenghuni. Aku adalah penumpang pertama dalam mobil
itu. Memang tak seperti biasanya.
Lama menunggu, sopir dan kondektur
akhirnya menyerah. Memaksakan berangkat dengan satu orang penumpang. Hanya
satu.
Namun tak lama menanti, seorang ibu berbaju
merah mengacungkan tangannya kea arah mobil yang kutumpangi. Ciawi, katanya. Si
ibu akan berangkat ke Jakarta, lewat Ciawi. Si ibu duduk di samping jok pak
supir.
Dua penumpang menemani perjalanan si
mobil tua yang dikemudikan pak supir berkacamata. Hampir tiga kilometer tanpa
tambahan muatan. Hingga didepan sebuah
gerbang, kulihat seorang wanita berjilbab biru ditemani seorang bapak berbaju
batik dengan peci putih di kepalanya.
“Assalamu’alaikum, Pak. Saya berangkat dulu.”
Wanita
berjilbab biru memasuki L-300 yang penuh debu. Baranagsiang, katanya pada
kondektur. Ia duduk di belakang jok pak supir, tepat di depanku. Sempat kulihat
wajahnya, namun langsung ku tundukkan pandangan. Tak berani ku tatap sorotan
mata wanita yang tak halal ku tatap.
Memangku
tas gendongnya yang berwarna hitam, si jilbab biru mengeluarkan sebuah buku.
Entah buku apa. Namun sempat kubaca beberapa judul bab yang dibukanya. Buku itu
nampaknya khusus bagi para wanita yang ingin menjadi wanita. Wanita dalam
pandangan Islam. Tertulis kata jilbab, mengatur emosi, dan kata-kata akhwat
dalam beberapa judul bab yang kulihat. Sudahlah, buku iu tak penting untuk
dibahas…
Setibanya
dijalur Puncak, mobil tua itu telah ditumpangi sekitar sepuluh orang.
Angka-angka digital di layar handphone
menunjukkan pukul 08.20. Pak supir tiba-tiba membelokkan mobil tua yang
kutumpangi ke arah kebun teh.
“Kok kesini, Pak”, Tanya si ibu berbaju
merah.
“Kita
motong jalan, Bu. Biar nggak kena tutup jalur”, jawab Pak
Supir. Kondektur meng-ya-kan.
Jalan
potong yang diambil pak supir begitu hancur rupanya. Jalan itu ibarat sungai
yang kekeringan. Batu-batu yang lumayan besar menyusun parahnya jalan yang
harus dilalui.
“Aduh,
Pak. Jalannya kok parah banget. Awas nanti kalau masih kena tutup jalur”, kata si ibu.
“Tenang
saja, Bu. Kalau lewat kesini nggak akan
kena tutup jalur. Kalaupun kena, nggak
bakalan lama.”
Sepuluh
menit berlalu diatas mobil yang digoyang jalanan berbatu. Si mobil tua yang
hampir penuh dengan muatan keluar dari sebuah gang. Tak lama, laju mobil
terhenti dibelakang antrian panjang mobil-mobil lain. Sial! Kena buka tutup jalur!
Tak
pelak, si ibu berbaju merah langsung memaki si supir. Makiannya ibarat kucuran
air yang keluar dari keran. Namun si supir hanya terdiam. Justru si kondektur
yang menimpali omelan si ibu berbaju
merah.
“Tuh, kan. Saya bilang juga apa. Ngapain juga harus lewat jalan yang
hancur kalau ujungnya ditutup juga”, kata si ibu.
“Ya,
maklum lah, Bu. Namanya juga hari Sabtu”, timpal si kondektur.
Perdebatan
mereka terus berlangsung sampai beberapa menit.
Sudah
hampir jam sembilan. Si supir dan kondektur akhirnya memutuskan untuk
mengalihkan semua penumpang ke mobil lain. Sudah dapat ditebak. Si ibu berbaju
merah tambah tak nyaman. Mulai mengalir kembalilah omelan dari mulutnya.
Apa
daya, semua penumpang harus dideportasi ke mobil lain. Aku turun dengan kesal,
meski tak sekesal si ibu berbaju merah. Namun ada cerita lain. Wanita berjilbab
biru turun terakhir. Di wajahnya tak terlihat sedikitpun rasa kesal. Ia tetap
setia dengan bukunya.
Aku
mempercepat langkah menuju mobil lain yang akan mengangkut. Entah siapa yang
memaksaku menoleh ke belakang. Sendi-sendi di leher atasku memutar kepala hampir
seratus delapan puluh derajat. Subhanallah,
betapa kagetnya saat ku tahu si wanita berjilbab biru berada tepat dibelakangku.
Untuk pertama kalinya kulihat wajah si wanita berjilbab biru dengan jelas. Ia
tersenyum. Aku tak kuasa memalingkan muka.
Amboi. Indah nian wajahnya
senyunmya laksana ikatan kimia
ikatan antara unsur Calsium Nitrogen Titanium dan
Kalium.
Ca N Ti K
Cantik!
Di depan pintu mobil ku menahan
langkah. Ku persilakan si jilbab biru masuk terlebih dahulu. Ia tersenyum
kembali. Sudahlah, aku tak tahan lagi. Lalu si ibu berbaju merah masuk dengan
wajahnya yang kecut. Aku duduk dipinggir pintu. Di sebelahku si ibu berbaju
merah, lalu disebelahnya si jilbab biru.
Masih kubayangkan senyumnya.
Fantasiku melayang entah kemana. Membayangkan masa depan bersamanya, hahaha.
Maklumlah, anak muda.
Mengalihkan perhatian, ku mainkan handphone. Entah mengapa, mungkin si
jilbab biru menangkap resonansi fantasiku. Ia mengeluarkan handphone-nya. Mengejutkan. Ia memutar sebuah lagu. Lagu yang
hampir setiap hari kuputar. Lagu yang tak asing lagi bagiku. Lagu itu seakan
menjawab fantasiku. Lagu itu…
Kalau
memang Kau pilihkan aku
tunggu
sampai aku datang
nanti
kubawa Kau pergi ke surga abadi…
Kini
belumlah saatnya, aku membalas cintamu
nantikanku
di batas waktu.
Nantikanku di batas waktu, sebuah
lagu dari edcoustic yang memaksa mataku meliriknya. Ia menolehkan kepalanya ke
arahku. Aku langsung tertunduk.
Lagu itu pun berakhir. Namun tak
cukup sampai disitu. Lagu kedua yang diputarnya, masih dari edcoustic.
Duhai
pendampingku, akhlakmu permata bagiku
buat
aku makin cinta
tetapkan
selalu janji awal kita bersatu
bahagia
sampai ke surga
Duhai pendampingku! Lamunanku
kembali meninggi. Hingga ia memutarkan lagu ketiga. Lagu yang semakin membuatku…
Aah, entahlah. Entah apa yang kurasakan saat itu.
Aku
ingin mencintaimu, setulusnya
sebenar-benar
aku cinta
dalam
doa, dalam ucapan, dalam setiap langkahnku
Aku
ingin mendekatimu, selamanya
sehina
apapun diriku …
Subhanallah.
Aku ingin mencintaimu. Apalagi yang harus kukatakan. Lagu keempat.
Kata-kata
cinta terucap indah
mengalir
berdzikir di kidung doaku …
Ooohh… Empat buah lagu dari
edcoustic. Ia mengakhirinya dengan lagu Muhasabah Cinta. Betapa melayangnya
aku. Meski ku tahu, mungkin lagu itu bukan untukku. Biarlah…
Si jilbab biru memasukkan kembali handphone-nya ke dalam tas. Aku masih
terdiam. Hingga ku sadar, angka-angka digital telah menunjukkan pukul sebelas
tepat. Hampir satu setengah jam aku duduk terpaku di pinggir si ibu berbaju
merah. Aku telah dibuai fantasi dan lagu-lagu edcoustic. Ooohh…
Suara mesin mobil kembali terdengar
setelah tertidur selama sempilan puluh menit. Antrean mobil yang tersumbat
telah kembali mengalir. Di sisa perjalanan, ku dengar percakapan si jilbab biru
dengan si ibu berbaju merah. Baru ku tahu, ternyata si jilbab biru hendak
menuju tempat yang sama denganku. Kampus IPB.
***
Terminal Baranangsiang menjadi
tempat perhentian terakhir mobil tua yang kutumpangi. Sebenarnya ingin kutunggu
si jilbab biru untuk keluar. Namun waktu perjalanan yang ngaret berjam-jam memaksaku untuk mempercepat langkah. Aku harus
mengumpulkan berkas-berkas pendafataran beasiswa yang tak lama lagi ditutup.
Di balik jilbab biru
kau simpan indah parasmu
Di balik jilbab biru
kau sembunyikan cantik senyummu
Di balik jilbab biru
Kau mainkan sebuah lagu: Muhasabah cinta.
Duhai
pendampingku, Nantikanku di batas waktu, Aku ingin mencintaimu.
5 komentar:
luar biasa, yayat-yayat cinta romantis sekali..
ternyata yayat udah dewasa, segera menikah ya :)
bang diki duluan aja bang, hahaha
jadi, jilbab biru itu fakultas mana? :P
Kaga tau im, masih misteri. Haha
subhanallah...
Posting Komentar