Acapkali ia ditanya oleh beberapa
orang sahabatnya tentang keengganannya memakai jilbab. Ia hanya tersenyum,
seraya menjawab “InsyaAllah. Bagi saya
yang terpenting hati dulu yang berjilbab. Baru nanti rambut saya yang akan saya tutup.”
Sudah banyak memang yang menanyakan
sekaligus menasihatinya. Namun ia tak bergeming dan tetap memberikan jawaban
serupa apabila ia ditanya.
Hatta tibalah suatu malam. Dalam bunga
tidurnya, ia memimpikan dirinya tengah berada di suatu taman yang begitu indah.
Rumputnya begitu hijau, pohon-pohon rindang dengan buahnya yang ranum tumbuh di
sekitar taman. Dilihatnya pula telaga-telaga dengan airnya yang jernih,
mengalir dengan indah disertai suara gemericiknya yang menghanyutkan. Semilir angin
menyapa kulitnya, menembus pori-pori hingga masuk ke tulang-tulangnya. Tak
pernah rasanya ia temukan tempat seindah ini sebelumnnya.
Di pinggir-pinggir telaga, ia
melihat beberapa orang wanita yang sedang menikmati keindahan taman. Ia
bergegas menghampiri salah seorang wanita yang tengah berkumpul itu.
“Assalamu’alaikum,”
disapanya salah seorang wanita yang tengah menikmati segarnya air telaga.
“Wa’alaikummussalam.
Selamat datang saudariku,” jawab sang wanita. Wajahnya begitu bersih, bersinar bercahayakan
iman.
“Terima kasih. Apakah ini surga? Aku
tak pernah melihat tempat seindah ini sebelumnya.”
Sang wanita yang ditanya meluncurkan
senyumnya yang begitu indah, “Bukan, Saudariku. Ini bukan surga. Ini hanya
tempat tunggu bagi para wanita yang akan masuk ke dalam surga. Adapun surga, ia
ada di balik pintu itu,” tangannya menunjuk ke arah sebuah pintu besar yang
begitu indah dan penuh cahaya.
Ia tertegun, “Benarkah? Sungguh tak
terbayang indahnya surga, jika tempat tunggunya saja seperti ini.”
Satu dari beberapa orang wanita yang
lain lalu bertanya kepadanya, “Amalan apa yang membawamu kesini, Saudariku?”
“Ehm, aku senantiasa menjaga waktu
shalatku, dan aku menambahnkannya dengan ibadah sunnah,” jawabnya.
Jauh di ujung taman, pintu itu mulai
dibuka, semebak harum bebabuan dari dalam surga segara menyergap indra
penciumannya. Satu persatu wanita lain mulai memasukinya. Wanita yang disapanya
tadi sontak berkata, “Ayo ikuti mereka,” kata wanitu itu setengah berlari.
“Surga kah dibalik pintu itu?” tanyanya
sambil mengejar sang wanita.
“Tentu, Saudariku.” Larinya semakin
cepat.
“Tunggu. Tunggu aku…” Ia tertinggal
oleh sang wanita yang indah rupanya itu.
Ia berlari secepat yang ia bisa. Namun
ia masih tertinggal. Tak mampu ia mengejar sang wanita yang hanya setengah
berlari. Terengah-engah, ia berteriak kepada sang wanita.
“Amalan apa yang telah Kau lakukan
sehingga membuatmu begitu ringan?”
“Sama sepertimu, Saudariku,” jawab
sang wanita sambil tersenyum.
Ia kehabisan nafas, tak sanggup lagi
ia mengejar sang wanita. Tak lama, pintu surga itu ia capai, setengah kakinya
telah melangkah melewati pintu. Namun, saat ia hendak melangkahkan kaki
keduanya untuk masuk ke dalam melewati pintu itu, ia merasa ada yang menahan
dirinya. Tak dapat ia masuk melewati pintu itu. Dicobanya berkali-kali. Tetap tak
bisa.
Hatta dengan berputus asa, ia
bertanya kepada sang wanita yang telah berada di balik pintu, “Amalan apa yang
kau lakukan dan aku tidak melakukannya?”
Dari balik pintu, sang wanita
menjawab dengan senyumnya, “Saudariku, apakah Kau tidak memperhatikan apa yang
membedakan dirimu dan diriku?”
Ia tak punya lagi kekata untuk
menjawab pertanyaan sang wanita.
“Saudariku, apakah Kau mengira bahwa
Rabb-mu akan mengizinkanmu ke
surga-Nya, sementara Engkau tak menghijabi auratmu dengan sempurna?” Wanita itu
memunculkakan kepalanya keluar pintu, tersenyum, lalu berkata, “Saudariku,
sungguh sangat disayangkan amalanmu tak mampu membuatmu mengikutiku memasuki
surga ini. Maka cukuplah surga hanya sampai kaki dan hatimu, karena memang
niatmu adalah menghijabi hati.”
Ia tertegun. Tak lama ia terperanjat
bangun dari tidurnya. Lelehan air mata menganak sungai di pipinya. Ia mengambil
wudhu lalu meneruskan qiyamul lail. Lantunan
istighfar dan air mata menemani sunyinya malam itu. Ia menyesali perkataanya
dulu, dan sejak saat itu ia menguatkan azzam-nya
untuk berjilbab.
*Cerita ini saya
baca di Mading Al-Huriiyyah IPB di awal tahun 2012 dulu, sumbernya dari internet,
tapi saya lupa apa web sumbernya, heheh. Jadinya cerita ini saya tulis kembali
dengan bahasa saya sendiri. J
Semoga
menginspirasi.
~Hijab itu
melindungi, bukan membatasi.
0 komentar:
Posting Komentar