Nur Alifah

Kamis, 17 Januari 2013 0 komentar

Sebuah kisah nyata, dari seorang sahabat yang begitu mengispirasi. 


Senja kini telah sempurna dengan parasnya yang semakin jingga. Nyanyian burung di sore itu begitu menenangkan untuk menemani seorang gadis belia yang sedang duduk di belakang sebuah meja. Nur Alifah, seorang pelajar yang kini duduk di kelas tiga SMA baru saja selesai mengerjakan setumpuk tugas sekolah yang harus ia kumpulkan esok.
            Tepat pukul lima sore, Alifah -sapaan akrab teman-temannya- beranjak menuju rumah Bu Minah. Bu Minah adalah seorang penjual nasi uduk yang sangat terkenal enak masakannya. Bukan bermaksud untuk membeli makan malam, Alifah datang ke rumah Bu Minah untuk memesan dua puluh bungkus nasi uduk untuk esok pagi.
***

            Jarum-jarum jam tangan buatan Swiss yang dipakai di lengan kiri Alifah tepat menunjukkan pukul setengah enam pagi. Di kamar, Alifah telah rapi dengan seragam sekolah dan tengah bersiap keluar dari kamarnya. Seperti biasa, pagi itu satu juzz telah diselesaikannya. Alifah memang memiliki agenda rutin setiap pagi. Selesai qiyamullail, sambil menunggu waktu shubuh ia selalu membaca setidaknya satu juzz Al-Quran.
            Sepuluh menit kemudian Alifah berjalan keluar dari kamarnya. Menelusuri jalan yang masih basah diguyur hujan semalam, ia beranjak menuju rumah Bu Minah.
“Saya ambil nasinya sekarang ya, Bu,”  kata Alifah sambil membereskan kantong besar berisi dua puluh bungkus nasi uduk.
“Ia, Lif. Hati-hati, ya. Semoga sekolahnya lancar,” sahut Bu Minah.
Alifah berlalu sambil menjinjing sekantong besar nasi uduk di tangan kanannya. Alifah lalu berjalan menuju rumah-rumah warga lain yang setiap pagi sudah biasa ia kunjungi. Setiap pagi Alifah memang harus mengambil jajanan-jajanan pesanan teman sekolahnya.
Alifah, seorang pelajar berprestasi kebanggaan sebuah sekolah negeri di daerah Cikarang ini memang terkenal sebagai penjual nasi uduk, susu murni, jam tangan, dan aksesoris-aksesoris lainnya. Ia menjadi distributor nasi uduk Bu Minah di sekolahnya.
Tentu saja, tiada hal lain yang mendorongnya untuk melakukan semua ini: bersekolah sambil berjualan. Semua ini ia lakukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Dari hasil berjualan nasi uduk, susu murni, jam tangan dan aksesoris lainnya, ia memperoleh keuntungan yang ia gunakan untuk biaya makan sehari-hari dan membayar sewa kamar kostnya. Untuk biaya sekolah ia mengandalkan beasiswa yang selama tiga tahun berturut-turut ia peroleh karena prestasinya.
Alifah memang seorang siswa yang sangat berprestasi. Ia selalu meraih peringkat pertama di kelas unggulan selama tiga tahun berturut-turut. Ia juga beberapa kali mewakili sekolahnya dalam berbagai kejuaraan. Dan dari tangannyalah terukir banyak prestasi yang mebuat sekolahnya semakin bergengsi. Tak heran, pihak sekolah tak ragu untuk memberikan beasiswa tiga tahun berturut-turut.
Hari itupun sekolah berakhir dengan senyuman yang meluncur dari wajah Alifah yang puas dengan usahanya. Dua puluh bungkus nasi uduk, 3 liter susu murni dan beberapa aksesoris yang biasa ia jual telah habis. Itu artinya bertambah pundi-pundi uang yang bisa ia gunakan untuk belanja kebutuhan sehari-hari dan menyimpan sebagian lainnya untuk ditabung.
Alifah memang biasa menyisishkan sebagian dari hasil keuntungan berjualannya untuk ditabung. Ia menghemat pengeluaran biaya sehari-hari dengan rutin melaksanakan shaum Daud sejak masuk SMA. Dari situ, ia bisa menghemat hampir lima puluh persen kebutuhan sehari-harinya untuk ditabung.

***
Sudah lima tahun Alifah menjalani kehidupan sebagai seorang pelajar sekaligus pedagang. Sejak SMP, Alifah tidak tinggal bersama orangtuanya. Ia tinggal di tempat kost. Awalnya ini adalah keputusan sang ayah agar Alifah bisa hidup secara mandiri di luar rumah keluarga besarnya. Alifah sendiri sebenarnya merasa tak yakin saat harus hidup jauh dengan orang tua. Apalagi ibunya, ia sempat menolak keinginan sang ayah untuk menyekolahkan Alifah di luar kota.
Namun kini, enam tahun sudah berlalu dijalani Alifah dengan hidup sebagai seorang anak kost. Setidaknya satu bulan sekali Alifah pulang ke rumah untuk menggugurkan rasa rindunya pada keluarga. Alifah telah membuktikan bahwa dia bisa hidup mandiri sebagai anak kost, bahkan Alifah mampu melaksanakan sesuatu yang sebelumnya tak diduga oleh orang tuanya.
Ayah Alifah adalah seorang anggota DPRD Kota Jakarta, ibunya adalah owner tiga buah minimarket di kawasan Kota Depok. Tentu saja, dengan profesi kedua orang tuanya itu sebenarnya keluarga Alifah adalah keluarga yang berada. Tak heran pula, setiap bulan Alifah menerima uang kiriman untuk biaya makan, biaya sekolah, dan biaya sewa kost dari kedua orangtuanya yang jumlahnya sangat lebih dari cukup. Namun nampaknya semua itu tak membuat Alifah merasa cukup senang. Uang kiriman yang ia terima hanya ia gunakan selama tahun pertamanya di SMP. Sejak kelas dua SMP sampai kelas 3 SMA ia menghidupi dirinya dengan berjualan.
Alifah yang merupakan anak ketiga dari empat bersaudara ini memiliki maksud besar dalam hidupnya. Ia ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada kedua orang tuanya yang telah mendidiknya untuk hidup mandiri. Ia ingin mengungkapkan rasa terima kasih itu dengan cara yang berbeda.
***
Hari itu adalah awal dari libur panjang setelah ujian semester berakhir. Alifah memutuskan untuk pulang ke rumahnya di Jakarta sebelum sore hari. Ia membawa beberapa oleh-oleh aksesoris yang biasa ia jual kepada teman-teman sekolahnya.
Tepat pukul setengah lima sore Alifah tiba di rumahnya. Ayahnya belum pulang. Yang ada hanya ibu dan adik laki-lakinya yang sedang menonton televisi.
Sambutan dan pelukan hangat dari sang ibu menguapkan kerinduan yang sudah satu bulan tertahan. Alifah segera bercengkrama dengan ibu dan adiknya di ruang keluarga. Tak lama, kedua kakaknya tiba dari Bandung. Kakaknya yang pertama adalah mahasiswa Teknik Informatika tingkat akhir di ITB, dan yang kedua adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran semester tiga di Unpad. Sore itu akhirnya berakhir dengan sangat hangat di ruang keluarga. Semuanya berkumpul, kecuali sang ayah yang masih belum pulang dari tempat kerja.
Seusai sholat isya, Alifah dan keluarganya telah bersiap untuk makan malam, termasuk ayahnya yang tiba setengah jam sebelumnya. Makan malam saat itu berlangsung dengan sangat bahagia. Dibumbui dengan luapan rindu dari Alifah dan dua kakanya kepada keluarga.
Tepat pukul sembilan malam, Alifah bersama ayah dan ibunya berbagi cerita di ruang keluarga. Kedua kakak dan adiknya berada di kamar tidur mereka.
Namun, sejenak kehangatan itu terhenti. Alifah tiba-tiba menanyakan sesuatu kepada sang ayah yang membuatnya terdiam.
“Ayah, keluarga kita ini kan keluarga yang berkecukupan. Ayah adalah seorang anggota DPRD, ibu juga punya minimarket, tapi, Ayah, mengapa sih Ayah ga menunaikan ibadah haji. Bukankah sudah cukup modalnya, Yah?” tanya Alifah sambil menatap mata ayahnya.
Ayahnya terdiam. Ibunya menatap ke arah Alifah dan ayah.
“...” Ayahnya tetap terdiam.
“Yah, selama ini Ayah mengajarkan Alif untuk hidup mandiri, dan setiap bulan Ayah mengirimkan banyak uang untuk Alif dan kakak di Bandung. Tapi mengapa ayah tak menyisihkan uang ayah untuk ibadah, Yah. Tak mau kah Ayah menyempurnakan rukun islam yang ke lima?” tanya Alifah ditengah diamnya sang ayah.
Ibunya memandang ke arah Alifah, matanya seakan berkata “mengapa kamu tanyakan itu pada ayah.”
“Yah?” tanya Alifah penasaran.
Ibunya semakin tajam memandang Alifah.
Tak lama, ayah Alifah kembali dari diamnya. Ia menatap mata Alifah dan menghela nafas.
“Alif, tak sadarkah Kamu berapa biaya yang Ayah keluarkan untuk sekolah makan dan uang kost-mu setiap bulannya? Juga biaya kuliah untuk kedua kakakmu? Juga biaya sekolah untuk adikmu? Mestinya kamu berpikir sampai kesitu. Tak perlu kamu berpikir mengapa ayah tidak menunaikan ibadah haji. Gaji ayah dan ibu selama ini habis untuk pendidikan kalian,” jawab sang Ayah dengan nada yang cukup tinggi.
Ibunya menunduk. Kedua kakaknya yang mendengar ucapan ayah tersebut langsung keluar dari kamar.
“Tapi, Ayah...,” kata Alifah.
“Ah, Sudahlah. Ayah tak punya uang untuk ibadah haji,” sambar si Ayah memotong perkataan Alifah.
Ibunya semakin menunduk.
Alifah menghela nafas. Ia lalu ersenyum ke arah sang ayah. Tangannya merogoh sesuatu yang ia simpan di saku jaket yang ia kenakan malam itu.
“Ini, Ayah,” kata Alifah sembari menyodorkan sebuah buku tabungan bermerk salah satu bank syariah, “ini uang untuk ayah ibadah haji. Ini uang Ayah.”
Ibunya mulai mengangkat kepala. Ia menatap Alifah dengan buku tabungan yang disodorkannya ke hadapan ayah. Sementara ayahnya terdiam menatap buku tabungan itu.
“Ini uang Ayah dan Ibu,” Alifah menatap ke arah mereka, “ini uang yang selama ini ayah kirim untuk biaya sekolah dan hidup Alif. Sekarang Alif kembalikan uang ini untuk biaya ayah ibadah haji.”
Semuanya terdiam. Hening. Tiga puluh enam juta sembilan ratus ribu rupiah. Itulah jumlah nominal uang yang tertulis di buku tabungan atas nama Nur Alifah. Uang itu adalah uang yang sejak masuk SMP dulu dikirimkan orangtua Alifah untuk biaya hidup dan sekolah. Namun, sejak kelas dua SMP uang di tabungan itu tak pernah lagi disentuhnya. Alifah bertekad akan mengembalikan uang itu dengan membaiayai hidup dan sekolahnya sendiri. Dan uang kiriman ayah-ibunya itu, kini ia kembalikan untuk biaya ibadah haji ayahnya.
Suasanapun semakin hening. Entah perasaan apa yang tergambarkan dari bongkahan air mata yang meleleh di pipi ayah dan ibunya.
“Ini untukmu, Ayah. Tiket haji untukmu,” tutup Alifah.

0 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2013 | Selengkapnya tentang Yayat | Facebook | Twitter |