Menyoal Dunia Sinetron di Tanah Air

Selasa, 27 Agustus 2013 0 komentar
Tak dapat dipungkiri, semakin besarnya arus informasi yang mengalir di masyarakat sangat dipengaruhi oleh media. Salah satu media yang banyak menyalurkan arus informasi yang saat ini sangat mudah diakses oleh hampir semua kalangan adalah televisi. Sayangnya, televisi yang sedianya digunakan sebagai media informasi dan pencerdasan masyarakat justru lebih banyak menonjolkan unsur hiburannya. Lebih parah lagi, beberapa tayangan hiburan yang ditayangkan di televisi Indonesia dapat dikatakan tidak mendidik.

            Sinetron, akronim dari sinema elektronik, tak dapat dipungkiri lagi merupakan acara televisi yang saat ini ditayangkan di banyak stasiun televisi swasta Indonesia. Sayangnya, tayangan-tayangan sinetron Indonesia saat ini hanya berfungsi sebagi tontonan semata, tidak layak dijadikan sebagai tuntunan. Mengapa demikian? Coba kita lihat sinetron-sinetron yang selama ini menghiasi layar televisi kita. Kebanyakan sinetron tersebut mengangkat tema yang sama. Tema yang diangkat biasanya tentang percintaan, mimpi, atau tentang penderitaan seseorang. Yang menjadi pembeda dari sinetron-sinetron dengan tema yang sama hanyalah bungkus ceritanya saja.
            Terlalu luas memang jika kita membahas temanya. Yang membuat sinetron Indonesia dikatakan tidak layak menjadi bahan tuntunan adalah lebih ke nilai-nilai yang tersirat dari cerita sinetron-sinetron tersebut. Kebanyakan sinetron-sinetron Indonesia menonjolkan nilai-nilai budaya yang tidak sejalan dengan budaya bangsa. Dari jalan cerita yang diangkat sinetron Indonesia, nilai-nilai yang menonjol adalah sifat balas dendam, kecurigaan, perebutan kekuasaan, perebutan pasangan, penggunaan bahasa-bahasa gaul, dan tentang impian-impian kosong. Nilai-nilai tersebut tentu sangat berbahaya jika dicontoh oleh generasi muda.
            Belum lagi dampak besar yang bisa ditimbulkan dari jalan cerita yang diangkat di sinetron. Tak sedikit sinetron yang mengangkat cerita tentang kisah  orang desa yang pergi ke kota, lalu di kota dia mendapatkan pasangan hidup yang kaya, setelah itu otomatis dia menjadi seorang yang kaya dan berlimpah dengan harta. Bagi masyarakat desa yang awam dan berpikir instan, cerita-cerita semacam ini tentunya menjadi sebuah daya tarik sendiri. Sehingga bukan tak mungkin menjadi pemicu terjadinya urbanisasi.
            Masih ada sisi lain dari dunia sinetron Indonesia yang sangat tidak baik bagi pembentukan karakter generasi muda. Sisi lain itu dapat kita lihat dari penokohan yang ada dalam setiap sinetron. Orang-orang baik yang ada dalam sinetron biasanya ditokohkan sebagai seorang yang miskin, bodoh, dan tak memiliki kekuasaan. Sementara tokoh-tokoh antagonis ditokohkan sebagai orang yang kaya, cerdik dan memiliki kekuasaan. Penokohan-penokohan semacam ini tentu sangat tak baik dalam pembemtukan pola pikir generasi muda.
            Diluar tema dan isi ceritanya yang menonojolkan nilai-nilai di atas, pengaruh sinetron Indonesia terhadap masyarakat juga didukung dengan intenstitas penayangan sinteron yang berlanjut setiap hari. Bukan hanya itu, berakhirnya rangkaian cerita sebuah sinetron biasanya dilanjutkan dengan sinetron baru yang nengangkat tema dan alur yang sama dalam bungkus yang berbeda. Dengan keadaan seperti ini, penanaman nilai-nilai dari sinetron kepada masyarakat menjadi semakin kuat. Tentu saja hal ini membuat masyarakat semakin terprovokasi untuk mengambil nilai-nilai tersebut.
Coba bandingkan dengan Jepang. Tayangan-tayangan televisi di Negeri Matahari Terbit itu lebih didominasi oleh acara-acara yang bersifat informatif, bukan hiburan. Acara-acara sinetron kebanyakan menunjukan unsur sejarah bangsanya, seperti kisah-kisah tentang samurai atau pemakaian kimono. Tak sedikit pula acara-acara wisata yang memperkenalkan kebudayaan di suatu tempat.
Terlalu jauh memang jika kita bandingkan dengan negara semaju Jepang.  Namun, apa salahnya jika kita bisa mengurangi rangkaian acara sinetron bertema sama yang hanya mengeksplorasi emosi para penontonnya, lalu menggantinya dengan acara-acara yang lebih mengekslporasi pikiran dan ilmu pengetahuan. Sehinga peran televisi sebagai media pencerdasan yang informatif dapat lebih menonojol daripada sebagai sarana hiburan.

Dimuat di okezone, kolom Suara Mahasiswa.

0 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2013 | Selengkapnya tentang Yayat | Facebook | Twitter |