Saudaraku, telah
kudengar ratusan kabar tentang dirimu. Telah pula ku lihat berbagai gambar
perihal kondisimu, entah itu benar atau palsu. Saudaraku lewat tulisan ini,
kuhantarkan pesan dari hati nurani yang ingin bicara. Pesan yang selama ini tak
tersampaikan.
Saudaraku yang kucintai
karena Allah. Awalnya aku berpikir tak perlu rasanya mengungkapkan ini lewat
tulisan.
Tak perlu pula rasanya kusampaikan kebimbangan ini padamu. Karena ku tahu, Kau disana sedang dirundung duka. Namun saudaraku, tak tahan lagi rasanya hati ini menahan. Ingin kusampaikan ini kepadamu dengan segera.
Tak perlu pula rasanya kusampaikan kebimbangan ini padamu. Karena ku tahu, Kau disana sedang dirundung duka. Namun saudaraku, tak tahan lagi rasanya hati ini menahan. Ingin kusampaikan ini kepadamu dengan segera.
Saudaraku seiman, telah
kubaca sepotong firman persaudaraan dari kekata Illahi. Bahwa sesungguhnya
Muslim itu bersaudara. Maka begitupun antara Kau dan aku. Ada hubungan aqidah
diantara kita. Hubungan yang katanya lebih erat daripada hubungan darah.
Tak terbayang memang
cobaan yang tengah Kau hadapi. Dari ratusan kabar yang kubaca, tak terkira
sungguh keyakinan yang Kau bawa. Saat kematian mengintai di belakangmu, kau
masih setia dengan satu aqidah. Pun saat ancaman pembantaian membayangimu, lirih
suaramu masih meneriakkan kalimat tauhid.
Ku baca satu lagi
firman persaudaraan. Kali ini dari seorang manusia pembawa risalah. Bahwa
Muslim dengan Muslim yang lain itu ibarat satu tubuh, yang jika satu bagian
sakit maka bagian yang lain pun akan berteriak sakit. Saudaraku, berkali ku
baca sabda Sang Nabi itu. Namun nampaknya ada yang salah dengan diriku. Justru
saat ancaman pembantaian dan kematian itu datang menyapamu, aku masih bersibuk
dengan urusan-urusanku. Pun bahkan saat kabar kematian itu telah hinggap di
telingaku, aku masih terdiam tak bergerak meneriakkan rasa sakit itu.
Saudaraku, ada yang
salah nampaknya dengan tubuh Muslim yang satu ini. Dan aku tahu, salah itu ada
pada diriku. Aku tak berteriak sakit saat Kau disana disakiti. Aku merasa aman
saat Kau disana merasa terancam. Saudaraku, inikah pertanda bahwa Islamku yang tak
sempurna? Atau justru imanku ini tak diterima? Saudaraku, aku takut. Aku takut
jika itu yang memang terjadi padaku.
Jika benar memang itu
yang terjadi padaku, maka selama ini aku salah. Aku salah karena aku menduga
Kau disana membutuhkan bantuan dan doa-doa dari lisanku. Namun sebenarnya, justru
akulah yang harus memohon doa darimu. Doa agar hatiku tak sekeras batu. Doa
agar hatiku dapat sedikit saja tersentuh mendengar kabar tentangmu. Itupun
andai Kau sudi.
Saudaraku, maafkan
diriku yang selama ini berpaling darimu. Berpaling dari kisah tentang ikatan
aqidah antara kita, ikatan yang katanya lebih kuat
dibanding ikatan darah. Maafkan aku yang tak bisa berbuat banyak untukmu.
Hingga mungkin Kau menuntut ketidakpedulianku di depan Allah nanti. Aku hanya
bisa memohon ampun padaNya, dan meminta maaf padamu.
Salam beriring maaf untukmu, Saudaraku.
Salam dari hati yang masih sekeras batu.
1 komentar:
boleh boleh,,,di ttunggu tulisan selanjutnya
Posting Komentar