Sebuah kisah nyata, dari seorang sahabat yang begitu mengispirasi.
Senja
kini telah sempurna dengan parasnya yang semakin jingga. Nyanyian burung di
sore itu begitu menenangkan untuk menemani seorang gadis belia yang sedang
duduk di belakang sebuah meja. Nur Alifah, seorang
pelajar yang kini duduk di kelas tiga SMA baru saja selesai mengerjakan
setumpuk tugas sekolah yang harus ia kumpulkan esok.
Tepat pukul lima sore,
Alifah -sapaan akrab teman-temannya- beranjak menuju rumah Bu Minah. Bu Minah
adalah seorang penjual nasi uduk yang sangat terkenal enak masakannya. Bukan
bermaksud untuk membeli makan malam, Alifah datang ke rumah Bu Minah untuk
memesan dua puluh bungkus nasi uduk untuk esok pagi.
Jarum-jarum jam tangan
buatan Swiss yang dipakai di lengan kiri Alifah tepat menunjukkan pukul
setengah enam pagi. Di kamar, Alifah telah rapi dengan seragam sekolah dan
tengah bersiap keluar dari kamarnya. Seperti biasa, pagi itu satu juzz telah
diselesaikannya. Alifah memang memiliki agenda rutin setiap pagi. Selesai qiyamullail,
sambil menunggu waktu shubuh ia selalu membaca setidaknya satu juzz Al-Quran.
Sepuluh menit kemudian
Alifah berjalan keluar dari kamarnya. Menelusuri jalan yang masih basah diguyur
hujan semalam, ia beranjak menuju rumah Bu Minah.
“Saya ambil nasinya sekarang ya, Bu,” kata Alifah sambil membereskan kantong besar
berisi dua puluh bungkus nasi uduk.
“Ia, Lif. Hati-hati, ya. Semoga sekolahnya lancar,” sahut
Bu Minah.
Alifah berlalu sambil menjinjing sekantong besar nasi
uduk di tangan kanannya. Alifah lalu berjalan menuju rumah-rumah warga lain
yang setiap pagi sudah biasa ia kunjungi. Setiap pagi Alifah memang harus
mengambil jajanan-jajanan pesanan teman sekolahnya.
Alifah, seorang pelajar berprestasi kebanggaan sebuah
sekolah negeri di daerah Cikarang ini memang terkenal sebagai penjual nasi
uduk, susu murni, jam tangan, dan aksesoris-aksesoris lainnya. Ia menjadi
distributor nasi uduk Bu Minah di sekolahnya.
Tentu saja, tiada hal lain yang mendorongnya untuk
melakukan semua ini: bersekolah sambil berjualan. Semua ini ia lakukan untuk
memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Dari hasil berjualan nasi uduk, susu murni,
jam tangan dan aksesoris lainnya, ia memperoleh keuntungan yang ia gunakan
untuk biaya makan sehari-hari dan membayar sewa kamar kostnya. Untuk biaya
sekolah ia mengandalkan beasiswa yang selama tiga tahun berturut-turut ia
peroleh karena prestasinya.
Alifah memang seorang siswa yang sangat berprestasi. Ia selalu
meraih peringkat pertama di kelas unggulan selama tiga tahun berturut-turut. Ia
juga beberapa kali mewakili sekolahnya dalam berbagai kejuaraan. Dan dari
tangannyalah terukir banyak prestasi yang mebuat sekolahnya semakin bergengsi.
Tak heran, pihak sekolah tak ragu untuk memberikan beasiswa tiga tahun
berturut-turut.
Hari itupun sekolah berakhir dengan senyuman yang
meluncur dari wajah Alifah yang puas dengan usahanya. Dua puluh bungkus nasi
uduk, 3 liter susu murni dan beberapa aksesoris yang biasa ia jual telah habis.
Itu artinya bertambah pundi-pundi uang yang bisa ia gunakan untuk belanja
kebutuhan sehari-hari dan menyimpan sebagian lainnya untuk ditabung.
Alifah memang biasa menyisishkan sebagian dari hasil
keuntungan berjualannya untuk ditabung. Ia menghemat pengeluaran biaya
sehari-hari dengan rutin melaksanakan shaum Daud sejak masuk SMA. Dari situ, ia
bisa menghemat hampir lima puluh persen kebutuhan sehari-harinya untuk
ditabung.
***
Sudah lima tahun Alifah menjalani kehidupan sebagai
seorang pelajar sekaligus pedagang. Sejak SMP, Alifah tidak tinggal bersama
orangtuanya. Ia tinggal di tempat kost. Awalnya ini adalah keputusan sang ayah
agar Alifah bisa hidup secara mandiri di luar rumah keluarga besarnya. Alifah
sendiri sebenarnya merasa tak yakin saat harus hidup jauh dengan orang tua.
Apalagi ibunya, ia sempat menolak keinginan sang ayah untuk menyekolahkan
Alifah di luar kota.
Namun kini, enam tahun sudah berlalu dijalani Alifah
dengan hidup sebagai seorang anak kost. Setidaknya satu bulan sekali Alifah
pulang ke rumah untuk menggugurkan rasa rindunya pada keluarga. Alifah telah
membuktikan bahwa dia bisa hidup mandiri sebagai anak kost, bahkan Alifah mampu
melaksanakan sesuatu yang sebelumnya tak diduga oleh orang tuanya.
Ayah Alifah adalah seorang anggota DPRD Kota Jakarta,
ibunya adalah owner tiga buah minimarket di kawasan Kota Depok. Tentu saja,
dengan profesi kedua orang tuanya itu sebenarnya keluarga Alifah adalah keluarga
yang berada. Tak heran pula, setiap bulan Alifah menerima uang kiriman untuk
biaya makan, biaya sekolah, dan biaya sewa kost dari kedua orangtuanya yang
jumlahnya sangat lebih dari cukup. Namun nampaknya semua itu tak membuat Alifah
merasa cukup senang. Uang kiriman yang ia terima hanya ia gunakan selama tahun
pertamanya di SMP. Sejak kelas dua SMP sampai kelas 3 SMA ia menghidupi dirinya
dengan berjualan.
Alifah yang merupakan anak ketiga dari empat bersaudara
ini memiliki maksud besar dalam hidupnya. Ia ingin mengucapkan rasa terima
kasih kepada kedua orang tuanya yang telah mendidiknya untuk hidup mandiri. Ia
ingin mengungkapkan rasa terima kasih itu dengan cara yang berbeda.
***
Hari itu adalah awal dari libur panjang setelah ujian
semester berakhir. Alifah memutuskan untuk pulang ke rumahnya di Jakarta
sebelum sore hari. Ia membawa beberapa oleh-oleh aksesoris yang biasa ia jual
kepada teman-teman sekolahnya.
Tepat pukul setengah lima sore Alifah tiba di rumahnya.
Ayahnya belum pulang. Yang ada hanya ibu dan adik laki-lakinya yang sedang
menonton televisi.
Sambutan dan pelukan hangat dari sang ibu menguapkan
kerinduan yang sudah satu bulan tertahan. Alifah segera bercengkrama dengan ibu
dan adiknya di ruang keluarga. Tak lama, kedua kakaknya tiba dari Bandung. Kakaknya
yang pertama adalah mahasiswa Teknik Informatika tingkat akhir di ITB, dan yang
kedua adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran semester tiga di Unpad. Sore itu
akhirnya berakhir dengan sangat hangat di ruang keluarga. Semuanya berkumpul,
kecuali sang ayah yang masih belum pulang dari tempat kerja.
Seusai sholat isya, Alifah dan keluarganya telah bersiap
untuk makan malam, termasuk ayahnya yang tiba setengah jam sebelumnya. Makan
malam saat itu berlangsung dengan sangat bahagia. Dibumbui dengan luapan rindu
dari Alifah dan dua kakanya kepada keluarga.
Tepat pukul sembilan malam, Alifah bersama ayah dan
ibunya berbagi cerita di ruang keluarga. Kedua kakak dan adiknya berada di
kamar tidur mereka.
Namun, sejenak kehangatan itu terhenti. Alifah tiba-tiba
menanyakan sesuatu kepada sang ayah yang membuatnya terdiam.
“Ayah, keluarga kita ini kan keluarga yang
berkecukupan. Ayah adalah seorang anggota DPRD, ibu juga punya minimarket,
tapi, Ayah, mengapa sih Ayah ga menunaikan ibadah haji. Bukankah sudah
cukup modalnya, Yah?” tanya Alifah sambil menatap mata ayahnya.
Ayahnya terdiam. Ibunya menatap ke arah Alifah dan ayah.
“...” Ayahnya tetap terdiam.
“Yah, selama ini Ayah mengajarkan Alif untuk hidup
mandiri, dan setiap bulan Ayah mengirimkan banyak uang untuk Alif dan kakak di
Bandung. Tapi mengapa ayah tak menyisihkan uang ayah untuk ibadah, Yah. Tak mau
kah Ayah menyempurnakan rukun islam yang ke lima?” tanya Alifah ditengah
diamnya sang ayah.
Ibunya memandang ke arah Alifah, matanya seakan berkata “mengapa
kamu tanyakan itu pada ayah.”
“Yah?” tanya Alifah penasaran.
Ibunya semakin tajam memandang Alifah.
Tak lama, ayah Alifah kembali dari diamnya. Ia menatap
mata Alifah dan menghela nafas.
“Alif, tak sadarkah Kamu berapa biaya yang Ayah keluarkan
untuk sekolah makan dan uang kost-mu setiap bulannya? Juga biaya kuliah untuk
kedua kakakmu? Juga biaya sekolah untuk adikmu? Mestinya kamu berpikir sampai
kesitu. Tak perlu kamu berpikir mengapa ayah tidak menunaikan ibadah haji. Gaji
ayah dan ibu selama ini habis untuk pendidikan kalian,” jawab sang Ayah dengan
nada yang cukup tinggi.
Ibunya menunduk. Kedua kakaknya yang mendengar ucapan
ayah tersebut langsung keluar dari kamar.
“Tapi, Ayah...,” kata Alifah.
“Ah, Sudahlah. Ayah tak punya uang untuk ibadah haji,”
sambar si Ayah memotong perkataan Alifah.
Ibunya semakin menunduk.
Alifah menghela nafas. Ia lalu ersenyum ke arah sang
ayah. Tangannya merogoh sesuatu yang ia simpan di saku jaket yang ia kenakan
malam itu.
“Ini, Ayah,” kata Alifah sembari menyodorkan sebuah buku
tabungan bermerk salah satu bank syariah, “ini uang untuk ayah ibadah haji. Ini
uang Ayah.”
Ibunya mulai mengangkat kepala. Ia menatap Alifah dengan
buku tabungan yang disodorkannya ke hadapan ayah. Sementara ayahnya terdiam
menatap buku tabungan itu.
“Ini uang Ayah dan Ibu,” Alifah menatap ke arah mereka,
“ini uang yang selama ini ayah kirim untuk biaya sekolah dan hidup Alif.
Sekarang Alif kembalikan uang ini untuk biaya ayah ibadah haji.”
Semuanya terdiam. Hening. Tiga puluh enam juta sembilan
ratus ribu rupiah. Itulah jumlah nominal uang yang tertulis di buku tabungan
atas nama Nur Alifah. Uang itu adalah uang yang sejak masuk SMP dulu dikirimkan
orangtua Alifah untuk biaya hidup dan sekolah. Namun, sejak kelas dua SMP uang
di tabungan itu tak pernah lagi disentuhnya. Alifah bertekad akan mengembalikan
uang itu dengan membaiayai hidup dan sekolahnya sendiri. Dan uang kiriman
ayah-ibunya itu, kini ia kembalikan untuk biaya ibadah haji ayahnya.
Suasanapun semakin hening. Entah perasaan apa yang
tergambarkan dari bongkahan air mata yang meleleh di pipi ayah dan ibunya.
“Ini untukmu, Ayah. Tiket haji untukmu,” tutup Alifah.
0 komentar:
Posting Komentar