Apa kabar hati?
Masihkah ia seperti embun, merunduk
tawadhu di pucuk-pucuk daun.
Apa kabar iman?
Masihkan ia seperti karang, tegar
berdiri menghadap gelombang ujian.
Masihkah ia seperti mentari, terang
benderang agar hidup tetap tersinari.
Apa kabar saudaraku?
Dalam dekapan cinta-Nya, semoga Ia
senantiasa menjaga diri, hati, dan imanmu.
Adalah demikian, kalimat-kalimat
pertanyaan yang menjadi tak asing ku dapatkan sejak saat itu. Kalimat-kalimat yang
rutin menyapaku setiap sepekan sekali. Semua sejak saat itu, sejak aku mengenal
lingkaran ini. Lingkaran yang banyak memberiku perubahan. Sebuah lingkaran
ajaib bernama lingkaran tarbiyah mubarokah…
***
Pagi itu kulalui seperti biasanya. Selesai sarapan lantas
berpamitan kepada kedua orang tua; mencium tangan-tangan mereka yang kasar
karena kerasnya bekerja, seraya memohonkan doa agar jalanku menuntut ilmu Allah
permudah.
Memang seperti biasanya, setiap pagi tubuhku
terombang-ambing di dalam sebuah mobil angkutan kota di atas jalan-jalan yang
hancur sepanjang lima kilometer. Entah memang karena sudah terbiasa atau acuh
karena terpaksa, jalanan hancur itu tak pernah menghalangi pagiku untuk sampai
di sebuah tempat. Tempat dimana ribuan ilmu kudapat, sekolah tercinta, SMA
Negeri 1 Sukaresmi. Dan hari itu memang seperti biasanya, Jumat pagi di
sekolahku, seluruh siswa yang tergabung dalam kepengurusan Rohis selalu
disibukkan dengan agenda sanroh -santapan rohani. Sebuah agenda rutin yang
mengharuskan anak-anak Rohis berbagi ilmu agama kepada teman-temannya di kelas.
Sejak bergabung dengan kepengurusan Rohis di kelas
sepuluh, aku memang sudah terbiasa -dipaksa tepatnya- untuk melakukan hal yang
sama. Maju ke depan kelas, lalu memberikan menyampaikan materi-materi keagamaan
dengan kapasitasku sebagai seorang pelajar yang awwam. Semua tidak lain hanya
untuk mengejar target menyelesaikan program kerja Rohis yang aku ikuti. Dan
hampir setahun hal itu selalu ku jalani.
Yang beda di hari Jumat itu adalah, Allah
mengamanahkan aku untuk memimpin keberlanjutan dakwah sekolah saat itu. Tepat
seusai shalat Jumat, amanah berat itu Allah pikulkan di pundakku yang rapuh.
Keputusan syura’ pengurus lama dan pengurus baru menunjukku untuk meneruskan
dan memperbaiki kerja-kerja dakwah mas’ul Rohis sebelumnya. Dan sekali lagi,
aku merasa terpaksa untuk berkata sami’na
wa atha’na.
Hingga beberapa Jumat berlalu, sampailah aku pada
suatu Jumat yang penuh sejarah. Ba’da Jumat saat itu, aku bersama keenam
temanku yang juga anak Rohis sudah menjanjikan pertemuan dengan seorang yang
baru kami kenal. Muhammad Robby namanya, namun aku selalu akrab menyapa beliau
dengan sapaan Kang Robby.
Pertemuan dengan Kang Robby saat itu berlangsung di
halaman Musholla sekolah yang menjadi tempat shalat darurat karena masjid
sekolah yang sedang direnovasi. Formasi duduk kami melingkar, dengan Kang Robby
sebagai titik yang mengawali lingkaran. Kang Robby memulai perbincangan dengan
berbagai kalimat pembuka seperti ucapan syukur dan shalawat. Lantas setelah
dilanjut dengan basmallah dan pembacaan beberapa ayat Al-Qur’an, sehabis
memperkenalkan diri beliau lalu meminta aku dan teman-temanku memperkanalkan
diri. Dan tak lupa, Kang Robby meminta kami menyampaikan kabar diri, hati, dan
iman kami saaat itu. Aku dan teman-temanku awalnya tak paham dengan maksud
pertanyaan Kang Robby.
“Kabar-kabar amaliyah yaumiyah Antum maksudnya,”
kata Kang Robby sambil tersenyum ketika salah seorang temanku bertanya apa
maksud kabar iman dan hati.
Kami menjawab satu persatu. Kang Robby memperhatikan
sambil sesekali menambahkan pertanyaan atau candaan yang membuat aku dan
teman-temanku cekikikan. Di akhir pertemuan, Kang Robby menyampaikan bahwa
agenda pertemuan itu akan menjadi agenda rutin setiap ba’da Jum’at di tempat
yang sama.
Pada awalnya aku menganggap acuh pertemuan-pertemuan
itu. Bagiku semuanya biasa saja. Bahkan terkadang aku merasa bosan dengan
pertanyaan yang sama di setiap awal pertemuan itu; kabar diri, iman, dan hati.
Jum’at berganti dengan Jum’at lainnya, hingga
akhirnya aku merasakan sesuatu yang tak biasa di setiap Jum’at pagi. Beberapa
Jum’at setelah pertemuan dengan Kang Robby pertama kali, dilanjut dengan
pertemuan rutin setiap Jum’atnya membawa sesuatu yang baru di setiap Jum’at
pagiku. Entah mengapa, pertemuan-pertemuan ba’da Jum’at, dengan duduk melingkar
bersama teman-teman dan Kang Robby, lama kelamaan menjadi hal yang tak biasa
lagi. Bahkan gilanya, terkadang pertemuan ini menjadi sesuatu hal yang
kurindukan. Namun aku pun tak tahu apa yang aku rindukan dalam lingkaran ini.
Semakin lama, lingkaran ini semakin memberikanku
efek yang lebih aneh lagi. Aku mulai merasa lebih dari sekedar merindukannya,
aku mulai membutuhkannya. Dan saat rasa mulai membutuhkan pertemuan ini mulai
muncul, aku mulai menyadari bahwa aku mengalami banyak perubahan semenjak merutinkan
pertemuan melingkar ini.
Kang Robby, adalah sosok yang humoris, nada
bicaranya yang tinggi selalu memantik api semangat siapapun yang mendengar
kekatanya. Setiap bahan perbincangan yang beliau bawa setiap pekannya selalu
memaksaku untuk memperhatikan dengan seksama apa yang beliau sampaikan. Sejak
saat itu aku mulai menyadai bahwa dari perbincangan-perbincangan itulah aku
mendapat hal-hal baru yang tak ku dapat dari sekedar duduk di ruangan kelas.
Pikiranku mulai terbuka mengenai dunia, terutama dunia Islam yang menjadi topik
utama perbincangan kami di setiap minggunya.
Salah satu perubahan yang ku sadari saat itu adalah
perubahan pola pikir tentang dakwah yang selama ini aku jalani di Rohis. Aku mulai
memahami bahwa setiap tindak dan gerak Rohis bukanlah karena mengejar target
proker semata, apalagi karena terpaksa, ada nilai-nilai lain yang ternyata
selama ini aku lupakan sebelum mengenal pertemuan melingkar ini. Nilai-nilai
tentang bagaimana kita bisa menjadi orang yang bisa memberi kebermanfaatn bagi
orang lain, beserta ribuan nilai lainnya yang baru ku sadari sejak itu.
Termasuk pandanganku mengenai nilai-nilia prestasi.
Semenjak rutin menghadiri pertemuan melingkar itu aku mulai sadar apa arti
penting pretasi pribadi dan prestasi sosial. Sunggguh, pertemuan-pertemuan dalam
lingkaran ini telah membawa pikiranku menembus dinding-dinding kelas yang
selama ini memagarinya.
Aku sudah sangat jatuh cinta dengan pertuman dalam
lingkaran itu. Hingga Jum’at bagiku adalah hari yang paling ditunggu. Sampai
hampir setahun berlalu, Kang Robby mendapatkan amanah lain untuk menghidupkan
linkaran-lingkaran baru di sekolah lain. Aku dan kawan-kawan selingkaranku
mendapat pembimbing baru, Kang Novi namanya. Bersamanya, aku semakin mencintai
lingkaran ini.
Sampai di penghujung SMA pertemuan dalam lingkaran
ini tetap rutin dilaksanakan. Mabit di Masjid Agung Cianjur pada suatu malam
Minggu saat itu menjadi pertemuan melingkar terkahirku dengan status siswa SMA.
Kang Novi menitipkan pesan kepadaku dan teman-temankun agar senantiasa
memelihara lingkaran itu dimanapun kami berada. Membuat lingkaran itu semakin
besar, hingga akhirnya kelak kami semua memiliki lingkaran masing-masing.
Dan itulah yang aku dan teman-temanku lakukan. Di
dunia kampus yang baru, pertemuan dalam lingkaran itu senantiasa aku jalani
sepenuh hati. Meski dengan orang-orang baru yang juga mencintai
lingkaran-lingkaran ini.
0 komentar:
Posting Komentar