Tak
dapat dipungkiri, semakin besarnya arus informasi yang mengalir di masyarakat
sangat dipengaruhi oleh media. Salah satu media yang banyak menyalurkan arus
informasi yang saat ini sangat mudah diakses oleh hampir semua kalangan adalah televisi.
Sayangnya, televisi yang sedianya digunakan sebagai media informasi dan
pencerdasan masyarakat justru lebih banyak menonjolkan unsur hiburannya. Lebih
parah lagi, beberapa tayangan hiburan yang ditayangkan di televisi Indonesia
dapat dikatakan tidak mendidik.
Sinetron, akronim dari sinema
elektronik, tak dapat dipungkiri lagi merupakan acara televisi yang saat ini
ditayangkan di banyak stasiun televisi swasta Indonesia. Sayangnya,
tayangan-tayangan sinetron Indonesia saat ini hanya berfungsi sebagi tontonan
semata, tidak layak dijadikan sebagai tuntunan. Mengapa demikian? Coba kita
lihat sinetron-sinetron yang selama ini menghiasi layar televisi kita. Kebanyakan
sinetron tersebut mengangkat tema yang sama. Tema yang diangkat biasanya
tentang percintaan, mimpi, atau tentang penderitaan seseorang. Yang menjadi
pembeda dari sinetron-sinetron dengan tema yang sama hanyalah bungkus ceritanya
saja.
Terlalu luas memang jika kita
membahas temanya. Yang membuat sinetron Indonesia dikatakan tidak layak menjadi
bahan tuntunan adalah lebih ke nilai-nilai yang tersirat dari cerita
sinetron-sinetron tersebut. Kebanyakan sinetron-sinetron Indonesia menonjolkan
nilai-nilai budaya yang tidak sejalan dengan budaya bangsa. Dari jalan cerita
yang diangkat sinetron Indonesia, nilai-nilai yang menonjol adalah sifat balas
dendam, kecurigaan, perebutan kekuasaan, perebutan pasangan, penggunaan
bahasa-bahasa gaul, dan tentang impian-impian kosong. Nilai-nilai tersebut
tentu sangat berbahaya jika dicontoh oleh generasi muda.
Belum
lagi dampak besar yang bisa ditimbulkan dari jalan cerita yang diangkat di
sinetron. Tak sedikit sinetron yang mengangkat cerita tentang kisah orang desa yang pergi ke kota, lalu di kota
dia mendapatkan pasangan hidup yang kaya, setelah itu otomatis dia menjadi
seorang yang kaya dan berlimpah dengan harta. Bagi masyarakat desa yang awam
dan berpikir instan, cerita-cerita semacam ini tentunya menjadi sebuah daya
tarik sendiri. Sehingga bukan tak mungkin menjadi pemicu terjadinya urbanisasi.
Masih ada sisi lain dari dunia
sinetron Indonesia yang sangat tidak baik bagi pembentukan karakter generasi
muda. Sisi lain itu dapat kita lihat dari penokohan yang ada dalam setiap
sinetron. Orang-orang baik yang ada dalam sinetron biasanya ditokohkan sebagai
seorang yang miskin, bodoh, dan tak memiliki kekuasaan. Sementara tokoh-tokoh antagonis
ditokohkan sebagai orang yang kaya, cerdik dan memiliki kekuasaan. Penokohan-penokohan
semacam ini tentu sangat tak baik dalam pembemtukan pola pikir generasi muda.
Diluar tema dan isi ceritanya yang
menonojolkan nilai-nilai di atas, pengaruh sinetron Indonesia terhadap
masyarakat juga didukung dengan intenstitas penayangan sinteron yang berlanjut
setiap hari. Bukan hanya itu, berakhirnya rangkaian cerita sebuah sinetron
biasanya dilanjutkan dengan sinetron baru yang nengangkat tema dan alur yang
sama dalam bungkus yang berbeda. Dengan keadaan seperti ini, penanaman
nilai-nilai dari sinetron kepada masyarakat menjadi semakin kuat. Tentu saja hal
ini membuat masyarakat semakin terprovokasi untuk mengambil nilai-nilai
tersebut.
Coba bandingkan dengan Jepang. Tayangan-tayangan televisi di Negeri
Matahari Terbit itu lebih didominasi oleh acara-acara yang bersifat informatif,
bukan hiburan. Acara-acara sinetron kebanyakan menunjukan unsur sejarah
bangsanya, seperti kisah-kisah tentang samurai atau pemakaian kimono. Tak
sedikit pula acara-acara wisata yang memperkenalkan kebudayaan di suatu tempat.
Terlalu jauh memang jika kita bandingkan dengan negara semaju
Jepang. Namun, apa salahnya jika kita
bisa mengurangi rangkaian acara sinetron bertema sama yang hanya mengeksplorasi
emosi para penontonnya, lalu menggantinya dengan acara-acara yang lebih
mengekslporasi pikiran dan ilmu pengetahuan. Sehinga peran televisi sebagai
media pencerdasan yang informatif dapat lebih menonojol daripada sebagai sarana
hiburan.
Dimuat di okezone, kolom Suara Mahasiswa.
0 komentar:
Posting Komentar